Tulisan tanganku semakin nggak enak dipandang walaupun biasanya juga seperti itu, tapi yang ini tampak lebih buruk. Seburuk-buruknya tulisanku, biasanya huruf ‘i’ tetap aku isi titik di atasnya tapi kali ini nggak, malas kalau harus bikin titik, jugaan tanpa titik orang nggak bakal mengira itu ‘o’.
Sambil meregangkan badanku yang sedikit pegal akibat menulis kasus yang ada di bangsal tempatku bertugas kali ini, demi nilai yang akan mengantarku ke semester berikutnya. Aku melihat keluar kamar lewat celah pintu yang setengah terbuka, beberapa bunga kamboja jatuh bergantian. Aku kira akibat air hujan yang turunnya segede kelereng tapi ternyata karena sodokan dengan sebilah bambu dari tuan rumahku, untuk dijual katanya.
Disela-sela mengerjakan tugas, aku ingat lelucon-lelucon yang biasa kami lontarkan satu sama lain. Ingat setiap gosip yang entah siapa jadi penyebarnya tentang kedekatan dua teman kami yang satu kelompok dengan kami, yang belakangan ini kami tahu mereka sudah jadian, cinlok (cinta lokalisasi) istilahnya sekarang. Aku juga teringat bagaimana dia marah karena aku lupa mengerjakan tugasku sebagai ketua kelompok, tugas yang ujung-ujungnya dikerjakan olehnya. Marahnya lebih menjadi saat tugas individuku sendiri juga belum aku kerjakan. “Kamu bisa tapi kamunya yang malas”, teringat dengan kalimat itu membuat aku senyum-senyum sendiri seperti beberapa pasien jiwa yang sering kami temui beberapa hari ini di tempat kami praktek/magang. Selain kalimat itu, ada lagi satu yang bisa membuat aku senyum-senyum sendiri, yaitu ketika aku dapat sms dari ortu yang isinya duit untuk foya-foya sudah ditransfer ke rekeningku. Nggak penting ya? Iya memang.
Baru kali ini praktek ini terasa nggak membosankan, mungkin karena lingkungannya yang membuat seperti ini, setiap hari kami bertemu pasien-pasien dengan gangguan kejiwaan. Ada yang mengaku kalau dirinya seorang bupati (Bupati adalah seorang yang memimpin suatu kabupaten), ada juga mengaku seorang artis yang lagi naik daun, kalau yang ini mungkin dia jadi ulat di iklan teh pucuk, bahkan ada juga yang mengaku sebagai seorang nabi terakhir. Namun yang paling menarik perhatianku adalah seseorang yang duduk di pojokan asyik dengan dunianya sendiri dan saat aku tanya dia sedang apa, dia menjawab sedang berbicara dengan burung garuda yang hinggap di jendela. Kali ini aku hampir saja berdebat dengannya, karena setahuku yang hinggap di jendela itu burung kakatua, untungnya ada teman yang mengingatkan kalau dia masih pengen melihat aku waras.
Kami nggak boleh meng’iya’kan maupun langsung menyangkal pengakuan mereka, itu sedikit dari banyak hal yang aku dapat pelajari dari kegiatan yang diberi nama PKL. Bukan Praktek Kerja Lapangan tapi maknanya sedikit mengarah kesana, apalagi Pedagang Kolor Lama tentu saja bukan, aku lupa atau mungkin nggak tahu kepanjangannya, apa sih yang aku tahu? Nggak ada. Selain itu semua, satu lagi yang membuat aku nggak bosan dengan kegiatan magang ini, yaitu aku satu kelompok dengan dia.
Seorang teman yang kamar kosnya tepat disebelah kamarku memecah lamunanku, beliau minta ditemenin makan karena hawa dingin di Kabupaten Bangli ini membuat perut kami sering merasa lapar, kenapa beliau? Karena usianya tujuh bulan lebih tua dariku.
Kami harus kos di sini selama dua minggu sesuai lama kami praktek/magang di Rumah Sakit Jiwa yang ada di sini, sempat aku menyesal kenapa aku nggak nyari kosan yang dekat dengan dia, tapi ya sudahlah seenggaknya aku lebih jarang kena marahnya. Aku dan temanku sepakat makan di warung yang direkomendasikan oleh teman kami yang lebih dulu praktek di sini, murah dan banyak katanya, itulah yang kami cari sebagai anak kos, masalah rasa nomor dua.
Saat aku dengan sadisnya merobek-robek ikan yang akan aku makan, memisahkan daging ikan dari tulangnya, temanku memberi kode kalau ada dua cewek yang menurutnya cantik sedang memesan makanan. Dari seragamnya aku tahu mereka itu mahasiswi dari kampus lain, mungkin sedang praktek d isini juga entah di Rumah Sakit Umum atau di Rumah Sakit Jiwa tempat kami praktek saat ini. Aku hanya menoleh sebentar kearah mahasiswi itu sambil menggeleng, “Saat ini nggak ada yang lebih menarik dari dia di mataku,” ucapku dalam hati. “Tapi yang pakai jaket hitam boleh juga sih” sambil menoleh lagi kearah mereka aku berkomentar.
Setelah perut kenyang kami kembali kekosan, entah akan bertahan berapa lama kekenyangan ini, hanya si perut yang tahu. Aku berniat melanjutkan tugasku, tugas yang belum ada setengahnya aku kerjakan, tapi rasa malas lebih kuat menguasaiku. Ya sudahlah. Memang benar kata orang, perut kosong bikin orang lemes, perut kenyang bikin orang males, serba salah.
“Kapan dosennya ke sini, ada kabar nggak?” aku sms dia dengan harapan dapat kabar dosenku nggak datang minggu ini.
“Belum tahu, kerjain saja tugasmu biar nanti nggak kelabakan.” Dari jawabannya seolah-olah dia bisa membaca fikiranku.
“Kamu sudah buatkah?”
“Sudah, teman-teman di sini semua sudah buat, makanya cepat buat.” Kalau yang ini dia mencoba membohongiku, karena aku tahu belum semua dari kelompok kami dapat pasien kelolaan.
“Iya… iya…” aku hanya meng’iya’kan apa yang dibilangnya.
Aku ke kamar temanku yang sedang asyik tidur-tiduran mungkin kekenyangan, sudah kaya kuda nil habis makan ban karet saja anak ini. Dia pun belum mengerjakan tugasnya karena belum tahu kapan dosen pembimbingnya datang, tapi apa gunanya juga aku nanyain dia, bangsal tempat kami praktek berbeda dan dosennya pun berbeda, semoga jodoh kamipun berbeda.
Rasa malas pun makin menjadi-jadi dan secara nggak sadar otakku mencari-cari alasan untuk menunda mengerjakan tugasku, aku pun membuka playlist lagu di handphone dan memainkan sebuah lagu.
“Oh… No!”
“I think I’m in love with you”
“Oh… No!”
“I’m hoping you’ll want me too”
“So, please don’t let me down”
(I think I’m love, Mocca)
Sambil menikmati lagu dari Mocca yang mengalun kencang di telingaku, aku iseng melihat jadwal besok, kira-kira siapa saja yang aku ajak satu shift, ada namaku dan namanya di shift pagi serta dua orang teman kami. Aku makin nggak sabar saja menunggu hari esok, kira-kira gimana hariku besok, menyenangkan atau menyenangkan banget?
Keesokan harinya aku dengan semangat membara layaknya orang yang akan mengikuti lomba makan kelereng di acara tujuh belasan, aku berangkat ke Rumah Sakit Jiwa tempatku praktek, 1% untuk belajar, 7% untuk makan baksonya Bang Tole, 32% untuk ketemu dia dan 60% -nya lagi sekalian kontrol.
“Gimana, sudah kelar tugasmu?” belum juga aku naruh tas sudah dikasih pertanyaan angker kaya gitu.
“Belum, kemarin hujan” jawabku dengan ngasih alasan seadanya.
“Apa hubungannya hujan sama tugas belum kelar?”
“Oya, yang lain belum datang ya? Kita shift sama siapa lagi hari ini?” Aku mengalihkan pembicaraan.
“Belum”
Kami duduk di kursi depan UGD karena pagi itu belum ada pasien yang datang, tepatnya belum ada pasien yang diantar, karena nggak mungkin ada orang gila datang sendiri ke UGD terus bilang “saya gila pak, tolong ikat dan obati saya”.
Semoga nggak ada pasien pagi ini, harapan kami. Dia sibuk mikirin tugas-tugas yang harus kami selesaikan sedangkan aku sibuk dengan fikiran tentang perasaanku ke dia, haruskah aku sampaikan atau mungkin aku pendam saja. Satu-satunya yang membuat aku ragu adalah perbedaan darah kami, bukan golongan darah tapi warna darah, biru dan merah. Kami di Bali ada empat warna atau kasta, dan kami berbeda dalam hal kasta, kalau dilihat dari susunannya, aku yang paling bawah. Sistem kasta itu sebenarnya untuk membedakan jenis pekerjaan atau kewajiban seseorang pada jaman dulu, tapi masih saja ada orang yang fanatik dengan sistem itu.
Intinya perbedaan itu yang membuat aku nggak berani ngungkapin perasaanku ke dia. Bodoh memang, di jaman modern seperti ini aku masih terlalu peduli dengan hal itu. Mungkin otakku sudah terdoktrin karena seringnya aku mendengar dari beberapa teman yang ngejalanin hubungan dengan situasi beda kasta. Setelah mereka ngejalanin hubungan selama bertahun-tahun terus ujung-ujungnya nggak dapat restu dari salah satu orang tua atau bahkan keduanya, mereka dengan terpaksa mengakhiri hubungan mereka. Ibaratnya kita sekolah di sekolah dasar selama enam tahun, terus pas ujian akhir kita nggak lulus, nyesek.
Belum lama kami duduk, dua teman kami yang kami ajak satu shift pagi ini datang, personil pagi ini lengkap dan kami nggak tahu harus ngapain karena memang belum ada pasien. Kami hanya duduk-duduk nggak jelas sambil menunggu perintah senior, tapi senior kami pun tampaknya nggak punya kerjaan yang bisa dipercayakan ke kami, mereka terlihat sibuk di depan komputer dengan secangkir kopi dan jajanan lengkap dengan asapnya yang mengepul, saking masih panasnya.
“Kak, ada yang bisa kami bantu nggak?” sebagai anak magang yang baik aku nyamperin dan nanyain ke senior kali saja ada yang bisa kami bantu makan, maklum kami masih lagi semingguan lebih disini, nyari muka dulu.
“Duduk saja dulu, pasiennya belum datang, nanti mau ada pasien katanya diantar sama dinas sosial”
“Ohh gitu, iya iya kak” aku meninggalkan senior kami itu yang ternyata sibuk dengan tugas-tugasnya yang menumpuk di meja samping komputer.
Aku kembali ke tempat kami tadi duduk, jadi duduklah kami di kursi masing-masing secara melingkar dengan meja segi empat di tengah, kami seakan-akan mau rapat serius padahal kami cuma empat onggok mahasiswa yang nggak tahu harus ngapain.
“Kurang kopi nih, ke kantin dulu yuk” aku mengajak mereka ke kantin tanpa berniat mentraktir.
“Nanti mau ada pasien katanya datang diantar sama dinas sosial, sebelum mereka datang mending kita ke kantin dulu, laper.” Lanjutku.
“ Ihhhh kamu tuh, baru juga jam setengah sembilan sudah mau izin ke kantin” dia nyahut tanda nggak setuju.
“Iya, nggak enak jam segini sudah izin ke kantin” ditimpalin sama temanku yang lain.
“Terus ngapain kita nggak ada kerjaan gini” aku masih ngeyel.
“Tugasmu kerjain, biar ada kerjaan” dia lagi-lagi ngingetin tentang tugas.
“Aku tuh nggak bisa bikin tugas di tempat praktek, takut nggak fokus prakteknya, tugas kan harus dikerjain di rumah bukan di sini” aku ngeles lagi.
“Idihhhhh” dia seakan jijik dengan pernyataanku itu yang aku balas hanya dengan mengernyitkan dahi.
Dua temanku yang cewek termasuk dia masuk ke ruangan tempat kami menaruh tas dan kembali dengan tumpukan kertas folio, mereka mau buat tugas rupanya. Aku dan temanku yang lain saling tatap dan kami dengan kompaknya merogoh handphone di saku celana kami, main handphone lebih menarik ketimbang megang pulpen bagi kami. Sambil menggeser kursiku, aku iseng duduk di sampingnya dan melototi wajahnya yang lagi serius nulis.
“KAMU NGGAK MANDI YA?” dengan semena-mena dia menuduhku nggak mandi.
“ENAK AJA” tukasku, aku tahu dia ngomong begitu karena malu aku lihatin.
Aku kembali menggeser kursiku menjauhi dia dan kembali sibuk dengan handphone-ku. Setelah sekitar setengah jam kami sibuk dengan diri kami masing-masing, akhirnya mobil dari dinas sosial datang dan kami pun keluar disusul sama seorang senior kami. Tampak petugas dinas sosial menggendong seorang nenek. Nenek yang ternyata sudah tua itu tampak kurus kering, tulang dibalut kulit, ungkapan kasarnya. Senior kami membukakan pintu kamar untuk nenek yang akan menjadi pasien kami itu.
Dari cerita petugas dinas sosial tersebut, nenek itu sudah menderita gangguan jiwa sejak sembilan tahun yang lalu dengan keluhan sering mengamuk dan mengganggu anggota keluarga ataupun tetangganya sehingga dipasung oleh anaknya selama sembilan tahun ini, anaknya beralasan karena nggak punya biaya untuk pengobatan dan rumahnya jauh dari pelayanan kesehatan. Mendengar cerita itu aku sempat nangis di celana.
Kedatangan nenek ini pun menyelamatkanku dari keheningan karena nggak ada kerjaan, oleh senior kami dikasih tugas untuk memandikan si nenek dan menyuapi makan. Awalnya aku kira bakal gampang, ternyata kaki dan tangan nenek ini kaku. Bagaimana nggak kaku, sembilan tahun di pasung pastinya otot-otot nenek ini sudah lupa caranya berkontraksi. Kami agak kesulitan memindahkan si nenek ke kamar mandi, namun dengan tekad yang kuat dan didukung oleh keinginan luhur, akhirnya kami berhasil memindahkan si nenek ke kamar mandi.
“Bejat banget tuh anak, tega-teganya giniin ibunya” aku ngomel sendiri.
“Sudah, nggak usah ngomel, mending kalian pegangin neneknya kuat-kuat, biar aku yang nyiram sama nyabunin” sahutnya.
Sepertinya selama dipasung ini nenek nggak pernah dimandiin, soalnya pas dilap, bukan daki lagi yang nempel di lapnya tapi sudah kaya tanah gitu, sampai-sampai kalau ditanamin biji kacang, tuh biji bakalan tumbuh jadi kecambah. Sambil mengutuk tuh anaknya nenek ini, aku dan temanku masih semangat megangin si nenek dengan kuatnya, sekarang tinggal menggosok giginya.
Aku melirik wajahnya yang tampak serius membersihkan gigi dan mulut si nenek, aku melihat keikhlasan di wajahnya, tanpa rasa jijik sedikit pun, berbeda denganku yang sibuk menghindar agar nggak kecipratan busa dan air bekas kumur si nenek.
Akhirnya si nenek sudah bersih sekarang dan dengan beberapa semprot parfum yang dikasih olehnya, si nenek jadi sedikit lebih wangi dariku. Nggak lupa aku juga minta dua semprot parfum di bagian ketiakku, kanan dan kiri, sebagai pertanggungjawabannya karena dengan semena-mena telah menuduhku nggak mandi tadi pagi.
Dari luar, aku ngelihatin dia yang dengan sabarnya menyuapi si nenek, sambil sesekali ngebayangin aku di posisi si nenek, bukan ngebayangin aku yang ngalamin dipasung selama sembilan tahun, tapi aku ngebayangin lagi disuapin olehnya, mungkin nafsuku yang sudah besar ini jadi makin besar, nafsu makan ya. Aku semakin kagum saja sama dia, walaupun mungkin semua cewek seangkatanku juga bakal kaya gitu care-nya kalau dikasih tugas merawat nenek ini, tapi entah kenapa dia ada saja nilai plus-nya dimataku tapi aku nggak tahu apa.
Nggak terasa sudah dua minggu kami magang di Rumah Sakit Jiwa ini, hari ini hari terakhir kami di tempat ini. Nggak ada lagi tampang kami yang sok rajin nanyain kerjaan yang bisa kami bantu, kami hanya duduk menunggu jam pulang dan bersiap-siap pamitan. Sempat sesekali senior kami menggoda anggota kelompok kami yang cewek termasuk menggoda dia, hampir saja aku ngejambak jambang tuh senior tapi emosiku masih bisa aku kontrol, rugi dong aku latihan yoga dan latihan pernafasan tiap pagi di toilet kalau emosi segitu saja nggak bisa aku kontrol.
Setelah melengkapi tugas kami dengan tandatangan dari pembimbing, kami berpamitan dengan senior dan pembimbing kami. Seperti kata orang perpisahan pasti menyisakan rasa kehilangan, begitu juga yang aku rasakan, aku bukan merasa kehilangan karena berpisah sama senior di sini ataupun sama pasien-pasien di sini, apalagi merasa kehilangan kesempatan untuk belajar lagi di sini, aku bukan mahasiswa seperti itu sayangnya. Aku merasa kehilangan kesempatan untuk bareng dia lagi, menikmati setiap marahnya yang aku tahu itu bukan marah yang sebenarnya marah. Lucu memang saat kita merasa kehilangan sesuatu yang belum kita miliki, itu ibaratkan kita sudah susah payah membuka bungkus permen, belum sempat masuk mulut permennya keburu jatuh.
Saat kami mulai kegiatan di kampus, aku dan dia sudah nggak seperti kemarin-kemarin lagi, masih tetap saling menyapa namun nggak seakrab kemarin, dia terlihat biasa saja tapi akulah yang menjauh dan jaga jarak.
Sedang asyiknya aku duduk sambil ngelihatin dia yang mau masuk ke kelas, Anggi teman sekelasku menghampiri dan duduk di sampingku, “Kamu benar ya lagi dekat dengan dia?” tanpa kalimat pembuka dia menyodorkan pertanyaan itu sambil menunjuk orangnya. “Maksudnya?” aku pura-pura begog, serius ini begognya cuma pura-pura.
“Iya selama praktek kamu dekat kan sama dia?”
“Orang satu kelompok ya dekatlah”
“Kamu ada rasa ya sama dia, kalau bisa sih jangan”
“Nggaklah” dengan tegas aku menjawab.
“Memang kenapa kok kamu bilang jangan?” lanjutku.
“Nggak sih kenapa, kasian dianya nanti”
“Maksud?” aku penasaran dan tanpa menjawab dia pergi begitu saja, sungguh nggak bertanggung jawab ini anak.
Nggak seperti saat-saat praktek kemarin aku penuh dengan semangat hanya karena akan ketemu dia, beberapa minggu terakhir semangatku ke kampus cuma seadanya, itu karena aku dengar kalau dia saat ini sedang dekat dengan mantan kakak kelas yang beberapa tingkat di atas kami, yang saat ini sudah bekerja. Kabar burung itu aku tahu dari salah satu teman sekamarnya di asrama.
Anggi tiba-tiba duduk di sampingku saat aku sedang khusuk duduk di pojokan kelas (bukan lagi ngobrol dengan burung garuda). “Dia sudah jadian sama mantan kakak kelas kita”
“Kamu tahu darimana?” aku kaget sambil membetulkan posisi dudukku, tanpa sadar aku memperlihatkan kalau aku tertarik dengan berita yang dibawa sama Anggi.
“Teman-teman di asrama” jawabnya.
“Ohhh” aku merespon dengan santai dan berusaha agar terlihat nggak peduli.
Berselang dua bulan setelah aku tahu dia sudah jadian sama cowok lain, aku masih tetap bertahan dengan sikap seperti biasanya, seolah-olah nggak ada perasaan apa-apa ke dia namun perasaan yang sebenarnya masih sama seperti sebelumnya.
Long weekend tiba, tentunya dia pulang kampung, tapi aku sendiri nggak pulang karena liburnya cuma tiga hari nanggung kalau aku pakai pulang kampung, secara untuk pulang ke kampungku aku harus mendaki gunung, lewati lembah, sebrangi samudera, nggak jarang aku pulang kampung barengan dengan Ninja Hattori. Untuk mengisi waktu libur selama tiga hari itu, aku manfaatkan untuk belajar, belajar menerima kenyataan.
Hari minggu sore, tepat sehari sebelum kami mulai kuliah aku dapat telpon dari dia, iya dia.
“Kamu di mana, ada di kos?”
“Iya di kos, kenapa?”
“Tunggu aku depan gang kosmu ya lagi lima menit!”
“Iya, kenapa memangnya?” aku masih belum ngerti.
Setelah ketemu di gang depan baru aku tahu maksudnya, dia mampir ke kosku sebelum kembali ke asrama.
“Kok tumben?” tanyaku penasaran sambil membukakan pintu.
“Pengen aja mampir, nggak boleh? Atau aku ganggu? Kalau nggak boleh ya udah aku balik sekarang.” memang ciri khas cewek, ditanya ‘kok atau kenapa’, jawabannya bisa merembet ke mana-mana.
“Nggak gitu, penasaran aja, kok tumben kesini, tapi nggak usah dah dijawab itu”
Dia nggak menjawab dan hanya menjatuhkan dirinya duduk di atas kasurku, sambil melihat sekeliling kamarku yang luasnya nggak jauh beda dengan luas wc umum.
“Aku mampir kesini sambil nunggu jam masuk asrama, kalau jam segini aku ke asrama palingan baru aku aja yang datang.” Dia menjawab pertanyaan yang sudah aku lupakan.
“Ohhhh”
“Mana nih oleh-oleh dari kampungnya?” lanjutku.
“Ada tuh di motor, bentar ya” dia keluar mengambil kantong kresek putih yang tergantung di motornya.
“Nihhh” dia menyodorkan Magnum almond kesukaanku.
“Ini mah nggak perlu pulang kampung, di warung depan juga banyak” aku sedikit protes sambil membuka bungkus Magnumnya.
“Udah makan aja!! kebanyakan protes kamu” katanya sambil nyalain tv.
Beberapa menit setelah aku habis melahap Magnumku, kami hanya menatap ke arah layar tv sambil sesekali berkomentar tentang acara tv saat itu, sampai di layar muncul acara reality show tentang seorang cewek memata-matai cowoknya yang dicurigai punya cewek lain atau mungkin punya cowok simpanan dan dibantu oleh dua orang host yang tugasnya cenderung untuk memanas-manaskan suasana hati si cewek sehingga terkesan makin dramatis.
“Katanya kamu udah jadian ya sama kakak kelas kita?” aku melontarkan pertanyaan itu sambil mataku tetap mengarah ke layar tv.
“Kamu tahu darimana?” tanyanya sambil menoleh ke arahku.
“Temen-temen di kampus, kan di asrama pasti cepetlah kesebar kalau yang gitu-gituan”
“Iya”
“Udah lama?”
“Nggak sih baru dua bulanan ini”
“Ohh”
Kami kembali hening selama beberapa menit dengan acara tv yang makin nggak jelas di depan kami.
“Aku boleh ngomong sesuatu nggak?”
“Dari tadi juga ngomong”
“Yang ini serius, tapi kamu jangan marah atau ngerasa gimana-gimana ya?”
“Iya, mau ngomong apa?”
“Aku suka sama kamu”
“Dari kita praktek tuh aku udah mulai suka sama kamu” lanjutku.
Sejenak dia diam seperti mengingat-ingat sesuatu dan menatap ke mataku.
“Kenapa baru bilang?”
“Kemarin-kemarin kamu kemana aja? Kok menghilang?” lanjutnya.
Aku kaget mendengar kalimat itu.
“Iya maaf Nda…”
Sambil meregangkan badanku yang sedikit pegal akibat menulis kasus yang ada di bangsal tempatku bertugas kali ini, demi nilai yang akan mengantarku ke semester berikutnya. Aku melihat keluar kamar lewat celah pintu yang setengah terbuka, beberapa bunga kamboja jatuh bergantian. Aku kira akibat air hujan yang turunnya segede kelereng tapi ternyata karena sodokan dengan sebilah bambu dari tuan rumahku, untuk dijual katanya.
Disela-sela mengerjakan tugas, aku ingat lelucon-lelucon yang biasa kami lontarkan satu sama lain. Ingat setiap gosip yang entah siapa jadi penyebarnya tentang kedekatan dua teman kami yang satu kelompok dengan kami, yang belakangan ini kami tahu mereka sudah jadian, cinlok (cinta lokalisasi) istilahnya sekarang. Aku juga teringat bagaimana dia marah karena aku lupa mengerjakan tugasku sebagai ketua kelompok, tugas yang ujung-ujungnya dikerjakan olehnya. Marahnya lebih menjadi saat tugas individuku sendiri juga belum aku kerjakan. “Kamu bisa tapi kamunya yang malas”, teringat dengan kalimat itu membuat aku senyum-senyum sendiri seperti beberapa pasien jiwa yang sering kami temui beberapa hari ini di tempat kami praktek/magang. Selain kalimat itu, ada lagi satu yang bisa membuat aku senyum-senyum sendiri, yaitu ketika aku dapat sms dari ortu yang isinya duit untuk foya-foya sudah ditransfer ke rekeningku. Nggak penting ya? Iya memang.
Baru kali ini praktek ini terasa nggak membosankan, mungkin karena lingkungannya yang membuat seperti ini, setiap hari kami bertemu pasien-pasien dengan gangguan kejiwaan. Ada yang mengaku kalau dirinya seorang bupati (Bupati adalah seorang yang memimpin suatu kabupaten), ada juga mengaku seorang artis yang lagi naik daun, kalau yang ini mungkin dia jadi ulat di iklan teh pucuk, bahkan ada juga yang mengaku sebagai seorang nabi terakhir. Namun yang paling menarik perhatianku adalah seseorang yang duduk di pojokan asyik dengan dunianya sendiri dan saat aku tanya dia sedang apa, dia menjawab sedang berbicara dengan burung garuda yang hinggap di jendela. Kali ini aku hampir saja berdebat dengannya, karena setahuku yang hinggap di jendela itu burung kakatua, untungnya ada teman yang mengingatkan kalau dia masih pengen melihat aku waras.
Kami nggak boleh meng’iya’kan maupun langsung menyangkal pengakuan mereka, itu sedikit dari banyak hal yang aku dapat pelajari dari kegiatan yang diberi nama PKL. Bukan Praktek Kerja Lapangan tapi maknanya sedikit mengarah kesana, apalagi Pedagang Kolor Lama tentu saja bukan, aku lupa atau mungkin nggak tahu kepanjangannya, apa sih yang aku tahu? Nggak ada. Selain itu semua, satu lagi yang membuat aku nggak bosan dengan kegiatan magang ini, yaitu aku satu kelompok dengan dia.
Seorang teman yang kamar kosnya tepat disebelah kamarku memecah lamunanku, beliau minta ditemenin makan karena hawa dingin di Kabupaten Bangli ini membuat perut kami sering merasa lapar, kenapa beliau? Karena usianya tujuh bulan lebih tua dariku.
Kami harus kos di sini selama dua minggu sesuai lama kami praktek/magang di Rumah Sakit Jiwa yang ada di sini, sempat aku menyesal kenapa aku nggak nyari kosan yang dekat dengan dia, tapi ya sudahlah seenggaknya aku lebih jarang kena marahnya. Aku dan temanku sepakat makan di warung yang direkomendasikan oleh teman kami yang lebih dulu praktek di sini, murah dan banyak katanya, itulah yang kami cari sebagai anak kos, masalah rasa nomor dua.
Saat aku dengan sadisnya merobek-robek ikan yang akan aku makan, memisahkan daging ikan dari tulangnya, temanku memberi kode kalau ada dua cewek yang menurutnya cantik sedang memesan makanan. Dari seragamnya aku tahu mereka itu mahasiswi dari kampus lain, mungkin sedang praktek d isini juga entah di Rumah Sakit Umum atau di Rumah Sakit Jiwa tempat kami praktek saat ini. Aku hanya menoleh sebentar kearah mahasiswi itu sambil menggeleng, “Saat ini nggak ada yang lebih menarik dari dia di mataku,” ucapku dalam hati. “Tapi yang pakai jaket hitam boleh juga sih” sambil menoleh lagi kearah mereka aku berkomentar.
Setelah perut kenyang kami kembali kekosan, entah akan bertahan berapa lama kekenyangan ini, hanya si perut yang tahu. Aku berniat melanjutkan tugasku, tugas yang belum ada setengahnya aku kerjakan, tapi rasa malas lebih kuat menguasaiku. Ya sudahlah. Memang benar kata orang, perut kosong bikin orang lemes, perut kenyang bikin orang males, serba salah.
“Kapan dosennya ke sini, ada kabar nggak?” aku sms dia dengan harapan dapat kabar dosenku nggak datang minggu ini.
“Belum tahu, kerjain saja tugasmu biar nanti nggak kelabakan.” Dari jawabannya seolah-olah dia bisa membaca fikiranku.
“Kamu sudah buatkah?”
“Sudah, teman-teman di sini semua sudah buat, makanya cepat buat.” Kalau yang ini dia mencoba membohongiku, karena aku tahu belum semua dari kelompok kami dapat pasien kelolaan.
“Iya… iya…” aku hanya meng’iya’kan apa yang dibilangnya.
Aku ke kamar temanku yang sedang asyik tidur-tiduran mungkin kekenyangan, sudah kaya kuda nil habis makan ban karet saja anak ini. Dia pun belum mengerjakan tugasnya karena belum tahu kapan dosen pembimbingnya datang, tapi apa gunanya juga aku nanyain dia, bangsal tempat kami praktek berbeda dan dosennya pun berbeda, semoga jodoh kamipun berbeda.
Rasa malas pun makin menjadi-jadi dan secara nggak sadar otakku mencari-cari alasan untuk menunda mengerjakan tugasku, aku pun membuka playlist lagu di handphone dan memainkan sebuah lagu.
“Oh… No!”
“I think I’m in love with you”
“Oh… No!”
“I’m hoping you’ll want me too”
“So, please don’t let me down”
(I think I’m love, Mocca)
Sambil menikmati lagu dari Mocca yang mengalun kencang di telingaku, aku iseng melihat jadwal besok, kira-kira siapa saja yang aku ajak satu shift, ada namaku dan namanya di shift pagi serta dua orang teman kami. Aku makin nggak sabar saja menunggu hari esok, kira-kira gimana hariku besok, menyenangkan atau menyenangkan banget?
***
Keesokan harinya aku dengan semangat membara layaknya orang yang akan mengikuti lomba makan kelereng di acara tujuh belasan, aku berangkat ke Rumah Sakit Jiwa tempatku praktek, 1% untuk belajar, 7% untuk makan baksonya Bang Tole, 32% untuk ketemu dia dan 60% -nya lagi sekalian kontrol.
“Gimana, sudah kelar tugasmu?” belum juga aku naruh tas sudah dikasih pertanyaan angker kaya gitu.
“Belum, kemarin hujan” jawabku dengan ngasih alasan seadanya.
“Apa hubungannya hujan sama tugas belum kelar?”
“Oya, yang lain belum datang ya? Kita shift sama siapa lagi hari ini?” Aku mengalihkan pembicaraan.
“Belum”
Kami duduk di kursi depan UGD karena pagi itu belum ada pasien yang datang, tepatnya belum ada pasien yang diantar, karena nggak mungkin ada orang gila datang sendiri ke UGD terus bilang “saya gila pak, tolong ikat dan obati saya”.
Semoga nggak ada pasien pagi ini, harapan kami. Dia sibuk mikirin tugas-tugas yang harus kami selesaikan sedangkan aku sibuk dengan fikiran tentang perasaanku ke dia, haruskah aku sampaikan atau mungkin aku pendam saja. Satu-satunya yang membuat aku ragu adalah perbedaan darah kami, bukan golongan darah tapi warna darah, biru dan merah. Kami di Bali ada empat warna atau kasta, dan kami berbeda dalam hal kasta, kalau dilihat dari susunannya, aku yang paling bawah. Sistem kasta itu sebenarnya untuk membedakan jenis pekerjaan atau kewajiban seseorang pada jaman dulu, tapi masih saja ada orang yang fanatik dengan sistem itu.
Intinya perbedaan itu yang membuat aku nggak berani ngungkapin perasaanku ke dia. Bodoh memang, di jaman modern seperti ini aku masih terlalu peduli dengan hal itu. Mungkin otakku sudah terdoktrin karena seringnya aku mendengar dari beberapa teman yang ngejalanin hubungan dengan situasi beda kasta. Setelah mereka ngejalanin hubungan selama bertahun-tahun terus ujung-ujungnya nggak dapat restu dari salah satu orang tua atau bahkan keduanya, mereka dengan terpaksa mengakhiri hubungan mereka. Ibaratnya kita sekolah di sekolah dasar selama enam tahun, terus pas ujian akhir kita nggak lulus, nyesek.
Belum lama kami duduk, dua teman kami yang kami ajak satu shift pagi ini datang, personil pagi ini lengkap dan kami nggak tahu harus ngapain karena memang belum ada pasien. Kami hanya duduk-duduk nggak jelas sambil menunggu perintah senior, tapi senior kami pun tampaknya nggak punya kerjaan yang bisa dipercayakan ke kami, mereka terlihat sibuk di depan komputer dengan secangkir kopi dan jajanan lengkap dengan asapnya yang mengepul, saking masih panasnya.
“Kak, ada yang bisa kami bantu nggak?” sebagai anak magang yang baik aku nyamperin dan nanyain ke senior kali saja ada yang bisa kami bantu makan, maklum kami masih lagi semingguan lebih disini, nyari muka dulu.
“Duduk saja dulu, pasiennya belum datang, nanti mau ada pasien katanya diantar sama dinas sosial”
“Ohh gitu, iya iya kak” aku meninggalkan senior kami itu yang ternyata sibuk dengan tugas-tugasnya yang menumpuk di meja samping komputer.
Aku kembali ke tempat kami tadi duduk, jadi duduklah kami di kursi masing-masing secara melingkar dengan meja segi empat di tengah, kami seakan-akan mau rapat serius padahal kami cuma empat onggok mahasiswa yang nggak tahu harus ngapain.
“Kurang kopi nih, ke kantin dulu yuk” aku mengajak mereka ke kantin tanpa berniat mentraktir.
“Nanti mau ada pasien katanya datang diantar sama dinas sosial, sebelum mereka datang mending kita ke kantin dulu, laper.” Lanjutku.
“ Ihhhh kamu tuh, baru juga jam setengah sembilan sudah mau izin ke kantin” dia nyahut tanda nggak setuju.
“Iya, nggak enak jam segini sudah izin ke kantin” ditimpalin sama temanku yang lain.
“Terus ngapain kita nggak ada kerjaan gini” aku masih ngeyel.
“Tugasmu kerjain, biar ada kerjaan” dia lagi-lagi ngingetin tentang tugas.
“Aku tuh nggak bisa bikin tugas di tempat praktek, takut nggak fokus prakteknya, tugas kan harus dikerjain di rumah bukan di sini” aku ngeles lagi.
“Idihhhhh” dia seakan jijik dengan pernyataanku itu yang aku balas hanya dengan mengernyitkan dahi.
Dua temanku yang cewek termasuk dia masuk ke ruangan tempat kami menaruh tas dan kembali dengan tumpukan kertas folio, mereka mau buat tugas rupanya. Aku dan temanku yang lain saling tatap dan kami dengan kompaknya merogoh handphone di saku celana kami, main handphone lebih menarik ketimbang megang pulpen bagi kami. Sambil menggeser kursiku, aku iseng duduk di sampingnya dan melototi wajahnya yang lagi serius nulis.
“KAMU NGGAK MANDI YA?” dengan semena-mena dia menuduhku nggak mandi.
“ENAK AJA” tukasku, aku tahu dia ngomong begitu karena malu aku lihatin.
Aku kembali menggeser kursiku menjauhi dia dan kembali sibuk dengan handphone-ku. Setelah sekitar setengah jam kami sibuk dengan diri kami masing-masing, akhirnya mobil dari dinas sosial datang dan kami pun keluar disusul sama seorang senior kami. Tampak petugas dinas sosial menggendong seorang nenek. Nenek yang ternyata sudah tua itu tampak kurus kering, tulang dibalut kulit, ungkapan kasarnya. Senior kami membukakan pintu kamar untuk nenek yang akan menjadi pasien kami itu.
Dari cerita petugas dinas sosial tersebut, nenek itu sudah menderita gangguan jiwa sejak sembilan tahun yang lalu dengan keluhan sering mengamuk dan mengganggu anggota keluarga ataupun tetangganya sehingga dipasung oleh anaknya selama sembilan tahun ini, anaknya beralasan karena nggak punya biaya untuk pengobatan dan rumahnya jauh dari pelayanan kesehatan. Mendengar cerita itu aku sempat nangis di celana.
Kedatangan nenek ini pun menyelamatkanku dari keheningan karena nggak ada kerjaan, oleh senior kami dikasih tugas untuk memandikan si nenek dan menyuapi makan. Awalnya aku kira bakal gampang, ternyata kaki dan tangan nenek ini kaku. Bagaimana nggak kaku, sembilan tahun di pasung pastinya otot-otot nenek ini sudah lupa caranya berkontraksi. Kami agak kesulitan memindahkan si nenek ke kamar mandi, namun dengan tekad yang kuat dan didukung oleh keinginan luhur, akhirnya kami berhasil memindahkan si nenek ke kamar mandi.
“Bejat banget tuh anak, tega-teganya giniin ibunya” aku ngomel sendiri.
“Sudah, nggak usah ngomel, mending kalian pegangin neneknya kuat-kuat, biar aku yang nyiram sama nyabunin” sahutnya.
Sepertinya selama dipasung ini nenek nggak pernah dimandiin, soalnya pas dilap, bukan daki lagi yang nempel di lapnya tapi sudah kaya tanah gitu, sampai-sampai kalau ditanamin biji kacang, tuh biji bakalan tumbuh jadi kecambah. Sambil mengutuk tuh anaknya nenek ini, aku dan temanku masih semangat megangin si nenek dengan kuatnya, sekarang tinggal menggosok giginya.
Aku melirik wajahnya yang tampak serius membersihkan gigi dan mulut si nenek, aku melihat keikhlasan di wajahnya, tanpa rasa jijik sedikit pun, berbeda denganku yang sibuk menghindar agar nggak kecipratan busa dan air bekas kumur si nenek.
Akhirnya si nenek sudah bersih sekarang dan dengan beberapa semprot parfum yang dikasih olehnya, si nenek jadi sedikit lebih wangi dariku. Nggak lupa aku juga minta dua semprot parfum di bagian ketiakku, kanan dan kiri, sebagai pertanggungjawabannya karena dengan semena-mena telah menuduhku nggak mandi tadi pagi.
Dari luar, aku ngelihatin dia yang dengan sabarnya menyuapi si nenek, sambil sesekali ngebayangin aku di posisi si nenek, bukan ngebayangin aku yang ngalamin dipasung selama sembilan tahun, tapi aku ngebayangin lagi disuapin olehnya, mungkin nafsuku yang sudah besar ini jadi makin besar, nafsu makan ya. Aku semakin kagum saja sama dia, walaupun mungkin semua cewek seangkatanku juga bakal kaya gitu care-nya kalau dikasih tugas merawat nenek ini, tapi entah kenapa dia ada saja nilai plus-nya dimataku tapi aku nggak tahu apa.
***
Nggak terasa sudah dua minggu kami magang di Rumah Sakit Jiwa ini, hari ini hari terakhir kami di tempat ini. Nggak ada lagi tampang kami yang sok rajin nanyain kerjaan yang bisa kami bantu, kami hanya duduk menunggu jam pulang dan bersiap-siap pamitan. Sempat sesekali senior kami menggoda anggota kelompok kami yang cewek termasuk menggoda dia, hampir saja aku ngejambak jambang tuh senior tapi emosiku masih bisa aku kontrol, rugi dong aku latihan yoga dan latihan pernafasan tiap pagi di toilet kalau emosi segitu saja nggak bisa aku kontrol.
Setelah melengkapi tugas kami dengan tandatangan dari pembimbing, kami berpamitan dengan senior dan pembimbing kami. Seperti kata orang perpisahan pasti menyisakan rasa kehilangan, begitu juga yang aku rasakan, aku bukan merasa kehilangan karena berpisah sama senior di sini ataupun sama pasien-pasien di sini, apalagi merasa kehilangan kesempatan untuk belajar lagi di sini, aku bukan mahasiswa seperti itu sayangnya. Aku merasa kehilangan kesempatan untuk bareng dia lagi, menikmati setiap marahnya yang aku tahu itu bukan marah yang sebenarnya marah. Lucu memang saat kita merasa kehilangan sesuatu yang belum kita miliki, itu ibaratkan kita sudah susah payah membuka bungkus permen, belum sempat masuk mulut permennya keburu jatuh.
***
Saat kami mulai kegiatan di kampus, aku dan dia sudah nggak seperti kemarin-kemarin lagi, masih tetap saling menyapa namun nggak seakrab kemarin, dia terlihat biasa saja tapi akulah yang menjauh dan jaga jarak.
Sedang asyiknya aku duduk sambil ngelihatin dia yang mau masuk ke kelas, Anggi teman sekelasku menghampiri dan duduk di sampingku, “Kamu benar ya lagi dekat dengan dia?” tanpa kalimat pembuka dia menyodorkan pertanyaan itu sambil menunjuk orangnya. “Maksudnya?” aku pura-pura begog, serius ini begognya cuma pura-pura.
“Iya selama praktek kamu dekat kan sama dia?”
“Orang satu kelompok ya dekatlah”
“Kamu ada rasa ya sama dia, kalau bisa sih jangan”
“Nggaklah” dengan tegas aku menjawab.
“Memang kenapa kok kamu bilang jangan?” lanjutku.
“Nggak sih kenapa, kasian dianya nanti”
“Maksud?” aku penasaran dan tanpa menjawab dia pergi begitu saja, sungguh nggak bertanggung jawab ini anak.
***
Nggak seperti saat-saat praktek kemarin aku penuh dengan semangat hanya karena akan ketemu dia, beberapa minggu terakhir semangatku ke kampus cuma seadanya, itu karena aku dengar kalau dia saat ini sedang dekat dengan mantan kakak kelas yang beberapa tingkat di atas kami, yang saat ini sudah bekerja. Kabar burung itu aku tahu dari salah satu teman sekamarnya di asrama.
Anggi tiba-tiba duduk di sampingku saat aku sedang khusuk duduk di pojokan kelas (bukan lagi ngobrol dengan burung garuda). “Dia sudah jadian sama mantan kakak kelas kita”
“Kamu tahu darimana?” aku kaget sambil membetulkan posisi dudukku, tanpa sadar aku memperlihatkan kalau aku tertarik dengan berita yang dibawa sama Anggi.
“Teman-teman di asrama” jawabnya.
“Ohhh” aku merespon dengan santai dan berusaha agar terlihat nggak peduli.
***
Berselang dua bulan setelah aku tahu dia sudah jadian sama cowok lain, aku masih tetap bertahan dengan sikap seperti biasanya, seolah-olah nggak ada perasaan apa-apa ke dia namun perasaan yang sebenarnya masih sama seperti sebelumnya.
Long weekend tiba, tentunya dia pulang kampung, tapi aku sendiri nggak pulang karena liburnya cuma tiga hari nanggung kalau aku pakai pulang kampung, secara untuk pulang ke kampungku aku harus mendaki gunung, lewati lembah, sebrangi samudera, nggak jarang aku pulang kampung barengan dengan Ninja Hattori. Untuk mengisi waktu libur selama tiga hari itu, aku manfaatkan untuk belajar, belajar menerima kenyataan.
Hari minggu sore, tepat sehari sebelum kami mulai kuliah aku dapat telpon dari dia, iya dia.
“Kamu di mana, ada di kos?”
“Iya di kos, kenapa?”
“Tunggu aku depan gang kosmu ya lagi lima menit!”
“Iya, kenapa memangnya?” aku masih belum ngerti.
Setelah ketemu di gang depan baru aku tahu maksudnya, dia mampir ke kosku sebelum kembali ke asrama.
“Kok tumben?” tanyaku penasaran sambil membukakan pintu.
“Pengen aja mampir, nggak boleh? Atau aku ganggu? Kalau nggak boleh ya udah aku balik sekarang.” memang ciri khas cewek, ditanya ‘kok atau kenapa’, jawabannya bisa merembet ke mana-mana.
“Nggak gitu, penasaran aja, kok tumben kesini, tapi nggak usah dah dijawab itu”
Dia nggak menjawab dan hanya menjatuhkan dirinya duduk di atas kasurku, sambil melihat sekeliling kamarku yang luasnya nggak jauh beda dengan luas wc umum.
“Aku mampir kesini sambil nunggu jam masuk asrama, kalau jam segini aku ke asrama palingan baru aku aja yang datang.” Dia menjawab pertanyaan yang sudah aku lupakan.
“Ohhhh”
“Mana nih oleh-oleh dari kampungnya?” lanjutku.
“Ada tuh di motor, bentar ya” dia keluar mengambil kantong kresek putih yang tergantung di motornya.
“Nihhh” dia menyodorkan Magnum almond kesukaanku.
“Ini mah nggak perlu pulang kampung, di warung depan juga banyak” aku sedikit protes sambil membuka bungkus Magnumnya.
“Udah makan aja!! kebanyakan protes kamu” katanya sambil nyalain tv.
Beberapa menit setelah aku habis melahap Magnumku, kami hanya menatap ke arah layar tv sambil sesekali berkomentar tentang acara tv saat itu, sampai di layar muncul acara reality show tentang seorang cewek memata-matai cowoknya yang dicurigai punya cewek lain atau mungkin punya cowok simpanan dan dibantu oleh dua orang host yang tugasnya cenderung untuk memanas-manaskan suasana hati si cewek sehingga terkesan makin dramatis.
“Katanya kamu udah jadian ya sama kakak kelas kita?” aku melontarkan pertanyaan itu sambil mataku tetap mengarah ke layar tv.
“Kamu tahu darimana?” tanyanya sambil menoleh ke arahku.
“Temen-temen di kampus, kan di asrama pasti cepetlah kesebar kalau yang gitu-gituan”
“Iya”
“Udah lama?”
“Nggak sih baru dua bulanan ini”
“Ohh”
Kami kembali hening selama beberapa menit dengan acara tv yang makin nggak jelas di depan kami.
“Aku boleh ngomong sesuatu nggak?”
“Dari tadi juga ngomong”
“Yang ini serius, tapi kamu jangan marah atau ngerasa gimana-gimana ya?”
“Iya, mau ngomong apa?”
“Aku suka sama kamu”
“Dari kita praktek tuh aku udah mulai suka sama kamu” lanjutku.
Sejenak dia diam seperti mengingat-ingat sesuatu dan menatap ke mataku.
“Kenapa baru bilang?”
“Kemarin-kemarin kamu kemana aja? Kok menghilang?” lanjutnya.
Aku kaget mendengar kalimat itu.
“Iya maaf Nda…”