PULANG KAMPUNG
Alarm di handphone semakin bersemangat berdering setelah tiga kali aku snooze, entah karena dia sekedar menjalankan tugasnya membangunkanku atau dia nggak suka melihat aku bermimpi lagi. Aku set alarm jam kosong lima titik kosong tiga WITA, setelah disnooze tiga kali dan aku abaikan beberapa kali, jadinya kira-kira aku bangun jam kosong enam titik lima belas WITA. Terima kasih alarm, karenamu aku bisa bangun sedikit lebih awal dari target sebelumnya.
Setelah benar-benar sadar dari tidur, aku langsung ke kamar mandi, bukan untuk mandi tapi hanya untuk memastikan kamar mandi masih bekerja sesuai fungsinya atau tidak. Oke, kamar mandi ternyata masih berfungsi sesuai kodratnya, malahan ada tambahan fungsi lagi satu, yaitu sebagai tempat bersarangnya laba-laba di salah satu pojok, berasa seperti salah satu pojokan kandang di kebun binatang. Kemajuan yang sangat membanggakan, membuat terasa makin dekat dengan alam saja.
Keluar kamar mandi, layar handphone tampak menyala padahal nggak terlihat jempol di atasnya, ternyata ada pemberitahuan dari seorang kawan yang kadang jadi lawan saat judi bola.
Ma bro: “Di mana ini? Aku sudah di pelabuhan, rame banget antreannya, aku aja dapet tiket nomer delapan.”
Begitulah kira-kira kabar dari seorang kawan, curhat tentang tiket yang dia dapat. Dia saja dapat tiket nomor delapan, bagaimana aku yang masih di rumah ngurusin kandang laba-laba. Ahhh palingan juga dapat nomor sembilan. Sudahlah yang penting aku bisa pulang kampung hari ini, terserah mau jam berapa.
Jam kosong enam titik tiga puluh, gampangnya setengah tujuh, tapi setengah tujuh berarti jam tiga setengah atau tiga koma lima. Lebih susah ternyata, kembali ke jam kosong enam titik tiga puluh satu. Lebih satu menit? Iya karena kita pakai membahas hal yang nggak penting tadi. Aku berangkat ke pelabuhan dengan motor yang beberapa tahun lalu dibeli dengan uang, nggak tahu tahun-tahun nanti beli motor pakai apa. Di jalan, banyak hal yang aku temui, ternyata aku bukan satu-satunya orang yang naik motor, ada juga orang yang naik mobil, ada motor yang naik mobil, belum ada mobil yang naik motor tapi kayanya sih ada ya? Yang belum ada itu, orang dinaikin mobil. Kalau mobil disembah orang, banyak.
Setelah sekitar tiga perempat jam naik motor, akhirnya aku pun sampai di depan parkiran pelabuhan. Parkiran seluas lapangan bola karena saking penuhnya jadi berasa seluas lapangan dada. Lari motorku yang tadinya bisa dibilang cepat sekarang jadi kaya keong ngesot. Ban motor menggelinding ke depan pelan-pelan biar bisa maju, karena memang si motor ini cuma bisa maju, nggak bisa mundur. Bukan karena nggak punya gigi mundur tapi karena si motor konsisten dengan slogannya, ‘Semakin Di Depan’.
Dengan susah payah tapi nggak begitu payah akhirnya aku dapat tempat parkir yang aman buat si motor, di bawah pohon ketapang, teduh jadi alasan utamanya. Lumayan si motor nggak kepanasan, walaupun mungkin nanti si motor bakal jadi jamban dadakan selama dua hari kedepan. Jadi jamban dadakan buat burung-burung yang sesekali terlihat numpang parkir di pohon ketapang. Nggak apalah si motor jadi jamban dadakan buat si burung, kalau kotor bisa dimandiin lagi, tapi kalau si motor kepanasan terus demam, tentu nggak bisa dimandiin. Kalau difikir-fikir, aneh juga ada burung buang hajat di atas bebek (baca: si motor).
Pelindung kepala yang orang sebut sebagai helm itu aku masukkan kembali ke perut si motor setelah tadi aku keluarkan dengan paksa. Dua tepukan di pantat si motor sebagai tanda aku pamitan mau meninggalkan dia selama dua hari ke kampung halaman. Aku berjalan selangkah demi selangkah, baru sampai sepuluh meter mungkin lebih beberapa inch sebelum loket (loket adalah tempat orang-orang membeli tiket), sudah tampak begitu banyak kerumunan orang, saking banyaknya aku malas untuk menghitung, untuk apa dihitung? Ya untuk tahu jumlahnya. Aku tetap nggak menghitung karena memang nggak mau tahu jumlahnya. Kalau diibaratkan, mereka tampak seperti kerumunan semut, kenapa semut? Bukan karena banyaknya, tapi karena warna rambutnya, ada yang hitam seperti semut hitam, ada yang cokelat-tembaga seperti semut api, ada yang merah seperti semut merah, ada hijau kemerahan seperti rangrang, ada juga yang putih bening seperti semut hantu. Belakangan aku baru sadar semut nggak berambut.
Aku sedikit mempercepat langkahku, yang awalnya cuma selangkah demi selangkah kini aku percepat jadi selangkah lebih maju, demi secarik tiket. Aku bergabung di kerumunan semut yang sedang mengantri, tentunya aku ini semut hitam, semut rumahan, semut yang paling sering bikin ibu-ibu rumah tangga naik pitam.
Sekitar sejam kurang entah berapa kurangnya, setelah beberapa kali saling sikut dengan semut merah dan semut api akhirnya aku si semut hitam dapat tiket juga, tiket nomor enam belas. Seorang kawan yang sedari tadi menunggu tampak tertawa setelah aku tunjukkan nomor tiket yang aku dapat. “Tak apa, rumah di kampung juga nggak bakalan pindah.” Aku menanggapi tawa ejekan itu.
Setelah benar-benar sadar dari tidur, aku langsung ke kamar mandi, bukan untuk mandi tapi hanya untuk memastikan kamar mandi masih bekerja sesuai fungsinya atau tidak. Oke, kamar mandi ternyata masih berfungsi sesuai kodratnya, malahan ada tambahan fungsi lagi satu, yaitu sebagai tempat bersarangnya laba-laba di salah satu pojok, berasa seperti salah satu pojokan kandang di kebun binatang. Kemajuan yang sangat membanggakan, membuat terasa makin dekat dengan alam saja.
Keluar kamar mandi, layar handphone tampak menyala padahal nggak terlihat jempol di atasnya, ternyata ada pemberitahuan dari seorang kawan yang kadang jadi lawan saat judi bola.
Ma bro: “Di mana ini? Aku sudah di pelabuhan, rame banget antreannya, aku aja dapet tiket nomer delapan.”
Begitulah kira-kira kabar dari seorang kawan, curhat tentang tiket yang dia dapat. Dia saja dapat tiket nomor delapan, bagaimana aku yang masih di rumah ngurusin kandang laba-laba. Ahhh palingan juga dapat nomor sembilan. Sudahlah yang penting aku bisa pulang kampung hari ini, terserah mau jam berapa.
Jam kosong enam titik tiga puluh, gampangnya setengah tujuh, tapi setengah tujuh berarti jam tiga setengah atau tiga koma lima. Lebih susah ternyata, kembali ke jam kosong enam titik tiga puluh satu. Lebih satu menit? Iya karena kita pakai membahas hal yang nggak penting tadi. Aku berangkat ke pelabuhan dengan motor yang beberapa tahun lalu dibeli dengan uang, nggak tahu tahun-tahun nanti beli motor pakai apa. Di jalan, banyak hal yang aku temui, ternyata aku bukan satu-satunya orang yang naik motor, ada juga orang yang naik mobil, ada motor yang naik mobil, belum ada mobil yang naik motor tapi kayanya sih ada ya? Yang belum ada itu, orang dinaikin mobil. Kalau mobil disembah orang, banyak.
Setelah sekitar tiga perempat jam naik motor, akhirnya aku pun sampai di depan parkiran pelabuhan. Parkiran seluas lapangan bola karena saking penuhnya jadi berasa seluas lapangan dada. Lari motorku yang tadinya bisa dibilang cepat sekarang jadi kaya keong ngesot. Ban motor menggelinding ke depan pelan-pelan biar bisa maju, karena memang si motor ini cuma bisa maju, nggak bisa mundur. Bukan karena nggak punya gigi mundur tapi karena si motor konsisten dengan slogannya, ‘Semakin Di Depan’.
Dengan susah payah tapi nggak begitu payah akhirnya aku dapat tempat parkir yang aman buat si motor, di bawah pohon ketapang, teduh jadi alasan utamanya. Lumayan si motor nggak kepanasan, walaupun mungkin nanti si motor bakal jadi jamban dadakan selama dua hari kedepan. Jadi jamban dadakan buat burung-burung yang sesekali terlihat numpang parkir di pohon ketapang. Nggak apalah si motor jadi jamban dadakan buat si burung, kalau kotor bisa dimandiin lagi, tapi kalau si motor kepanasan terus demam, tentu nggak bisa dimandiin. Kalau difikir-fikir, aneh juga ada burung buang hajat di atas bebek (baca: si motor).
Pelindung kepala yang orang sebut sebagai helm itu aku masukkan kembali ke perut si motor setelah tadi aku keluarkan dengan paksa. Dua tepukan di pantat si motor sebagai tanda aku pamitan mau meninggalkan dia selama dua hari ke kampung halaman. Aku berjalan selangkah demi selangkah, baru sampai sepuluh meter mungkin lebih beberapa inch sebelum loket (loket adalah tempat orang-orang membeli tiket), sudah tampak begitu banyak kerumunan orang, saking banyaknya aku malas untuk menghitung, untuk apa dihitung? Ya untuk tahu jumlahnya. Aku tetap nggak menghitung karena memang nggak mau tahu jumlahnya. Kalau diibaratkan, mereka tampak seperti kerumunan semut, kenapa semut? Bukan karena banyaknya, tapi karena warna rambutnya, ada yang hitam seperti semut hitam, ada yang cokelat-tembaga seperti semut api, ada yang merah seperti semut merah, ada hijau kemerahan seperti rangrang, ada juga yang putih bening seperti semut hantu. Belakangan aku baru sadar semut nggak berambut.
Aku sedikit mempercepat langkahku, yang awalnya cuma selangkah demi selangkah kini aku percepat jadi selangkah lebih maju, demi secarik tiket. Aku bergabung di kerumunan semut yang sedang mengantri, tentunya aku ini semut hitam, semut rumahan, semut yang paling sering bikin ibu-ibu rumah tangga naik pitam.
Sekitar sejam kurang entah berapa kurangnya, setelah beberapa kali saling sikut dengan semut merah dan semut api akhirnya aku si semut hitam dapat tiket juga, tiket nomor enam belas. Seorang kawan yang sedari tadi menunggu tampak tertawa setelah aku tunjukkan nomor tiket yang aku dapat. “Tak apa, rumah di kampung juga nggak bakalan pindah.” Aku menanggapi tawa ejekan itu.
0 komentar