ROSARIO DAN TASBIH
Berkali-kali gadis dengan lesung pipi itu melirik ke jam tangannya. Dia tak ingin waktu cepat berlalu, sementara lelaki yang ia tunggu tak kunjung muncul batang hidungnya. Buku kuliah dengan tebal sekitar tiga ratus halaman lebih yang baru saja ia pinjam di perpustakaan kampus itupun dia gunakan sebagai kipas. Cuaca memang sedikit kurang bersahabat siang itu.
Dia tampak pegal menunggu di atas kursi kayu kantin kampusnya. Silih berganti mahasiswa-mahasiswi, staf kampus datang pergi ke kantin kampus siang itu, karena memang sudah jamnya untuk makan siang, namun tak kunjung datang lelaki yang ia tunggu.
Dengan sedikit kesal iya merogoh handphone di tas nya dan mengetik pesan singkat untuk orang itu.
Dia ingin membatalkan janjinya dan segera pulang karena masih ada banyak tugas yang mesti dia kerjakan sementara dia tak membawa laptopnya.
Sedikit ragu-ragu Ana berjalan menuju parkiran tempat dia menaruh mobilnya, sudah tiga kali dia menoleh kebelakang berharap laki-laki yang ia tunggu datang. Kali ini wajahnya makin lecek, makin kecewa, hari yang ia harapkan akan indah, hilang sudah.
Sesampainya di rumah ia langsung merebahkan diri di kasur kamarnya sambil membuka handphone, dia ingin cepat tahu alasan apalagi yang membuat dirinya menunggu tanpa kabar siang ini. Tak ada pesan apapun di layar handphone-nya.
"Ana" Suara itu membuat kepala Ana menoleh ke belakang.
"Aku bisa jelasin semuanya Ana"
Laki-laki itu menghampiri Ana dari belakang. Ana beranjak pergi tanpa menoleh ke arah laki-laki itu lagi.
"Aku bisa jelasin semuanya, kemarin ada rapat BEM mendadak Ana" sambil mengambil nafas dalam karena memang harus, laki-laki itu melanjutkan kalimatnya, "rapat membahas tentang persiapan OSPEK adik kelas kita."
"Rapat tentang bagaimana ngedeketin adik kelas nantinya ya" dengan ketus akhirnya Ana mau menjawab.
Laki-laki itu tersenyum, "Mana ada rapat seperti itu? Kamu cemburu Ana?"
"Aku? Cemburu? Sama kamu? Nggak...."
"Sudah dulu ya, aku mau ke kelas." Ana menutup percakapan itu dan berjalan setengah berlari ke kelasnya.
"JAM MAKAN SIANG NANTI AKU TUNGGU DI KANTIN YA?" teriak laki-laki itu dari belakang.
Seperti biasa, siang ini kantin dipenuhi orang-orang yang mau menghabiskan jam makan siangnya. Revan duduk sendirian di kursi paling pojok kantin, dengan satu kursi kosong di depannya, tentunya itu kursi untuk Ana, gadis yang iya tunggu kedatangannya. Keadaan berbalik, sekarang Revan yang gelisah menunggu kedatangan Ana. Sudah jam satu siang lebih, orang-orang yang tadi rame-rame berkumpul di kantin kini mulai berhamburan satu persatu, mereka kembali ke tempat mereka bertugas, nggak sedikit dari mereka berjalan dengan enggan, mungkin karena weekend masih lama atau mungkin juga karena tanggal gajian belum di depan mata.
Sudah dua gelas minuman ada di meja Revan, satu gelas sudah kosong hanya terisi ampas buah, satu gelas lagi terisi teh dingin yang sudah diminum setengahnya. Revan sudah hampir menghabiskan dua gelas minuman namun Ana belum juga datang.
Tak lama setelah Revan meneguk es teh nya sebagai tegukan terakhir, Ana tiba-tiba berdiri di depannya. Ana tampak ngos-ngosan, bukan karena dia membawa begitu banyak buku di tasnya dan beberapa ia peluk di dadanya. Tampaknya Ana sedikit berlari tadi saat menuju ke kantin, takut-takut laki-laki yang menunggunya sudah pergi, dan takut berfikir kalau Ana memberi balasan untuk kecewanya kemarin. Ana bukan gadis yang seperti itu, yang di fikirannya hanya bagaimana caranya agar dia bisa selalu sedekat ini dengan Revan atau lebih tepatnya mungkin nggak suatu saat Ana dan Revan bisa tinggal di satu atap rumah yang sama mengingat hal yang membedakan diantara mereka.
"Sudah lama ya?" sambil menjatuhkan dirinya di kursi kosong yang sedari tadi menunggu untuk diduduki, Ana bertanya dengan ngos-ngosan.
"Nggak, aku baru datang kok"
"Ini gelasnya siapa?" sambil mengernyitkan dahi Ana menunjuk kedua gelas yang sudah kosong.
"Ohh... ini gelas pelanggan tadi, mbaknya belum sempat ngambil saking ramainya." jawab Revan sambil memberi kode ke mbak-mbak kantin untuk segera mengambil gelasnya.
"Kamu mau makan atau minum apa?"
"Aku minum soda gembira saja" jawab Ana.
"Soda nggak baik buat kesehatan, jangan sering-sering minum gituan nanti" Revan memesan minuman sambil menasehati Ana.
Ana hanya mengganguk manis sebagai tanda dirinya penurut. Beberapa detik Ana menatap mata Revan, mata yang tidak terlalu bening, namun memancarkan kepolosan dan kasih sayang, kasih sayang yang membuat dia disukai banyak gadis-gadis di kampus ini, terlebih karena Revan terbilang cukup berprestasi di bidang akademik, juara satu debat bahasa inggris tingkat perguruan tinggi swasta tahun ini.
Di satu sisi, terlihat Revan yang tampak sedikit bingung memulai pembicaraan dari mana. Memang nggak seperti biasanya Revan kehilangan kata-kata.
"Ana.."
"Aku minta maaf soal kemarin, bukannya aku lupa janji kita ketemu tapi aku nggak bisa meninggalkan rapat, handphone-ku juga mati kemarin, tahu kan kondisi handphone-ku kaya gimana?"
"Aku kan sudah bilang ganti saja handphone-mu, kamu bisa pakai tabunganku buat nambahin beli handphone."
"Nggak usah, aku sudah cukup pakai ini, sayang uangnya buat beli handphone, mending pakai kuliah atau beli buku." jawab Revan tanda nggak setuju.
"Ahh kamu selalu kaya gitu, sekali-sekali manjain dirimu."
Revan memang sosok yang sangat memperhitungkan keuangannya, maklum untuk kuliah saja Revan harus kerja freelance di berbagai tempat. Revan membiayai kuliahnya sendiri, sangat berbeda dengan Ana, sosok anak yang serba berkecukupan bahkan lebih.
Setelah percakapan tentang handphone itu, tak ada lagi percakapan apapun diantara mereka. Hanya saling menatap, sesekali salah satu dari mereka memalingkan muka dan kembali menatap. Ana memang sudah yakin akan perasaannya ke Revan, namun takut Revan hanya menganggapnya sebagai teman, mungkin juga lebih, namun lebihnya tak cukup untuk mereka sebut sebagai pacar. Begitu juga Revan, memiliki perasaan yang sama, gadis di depannya adalah alasan baginya untuk selalu semangat bertahan di kota besar ini, merantau sendirian, jauh dari keluarga.
Keduanya memiliki perasaan yang sama. Tak satu pun dari mereka pernah mengutarakan perasaan mereka, apalagi panggilan sayang, nggak pernah ada yang namanya panggilan sayang. Hanya tindakan nyata dari keduanya yang cukup terlihat, yang cukup bagi beberapa teman mereka untuk tahu kalau keduanya saling memperhatikan dan saling peduli.
Satu hal yang membuat mereka nggak pernah mengungkapkan perasaan mereka. Bukan, bukan karena perbedaan status ekonomi mereka. Ini bisa dibilang perbedaan yang sangat sensitif, lebih sensitif dari isu ekonomi. Semua orang pasti tahu apa yang lebih sensitif dari itu di negara ini, Agama. Saat dua orang dengan tempat ibadah yang berbeda jatuh cinta. Saat Revan menyerahkan diri di Masjid setiap jumat, Ana selalu meluangkan Minggunya bersama keluarga untuk datang ke Gereja. Revan dengan Alqurannya dan Ana dengan Alkitabnya. Revan dengan tasbih di tangannya, Ana mengalungkan rosarionya.
Saat keduanya mengingat semua hal yang secara kasat mata tampak berbeda, namun dengan makna yang sama, kata 'cinta' tak bisa mereka ungkapkan.
***
"Ana" Suara itu membuat kepala Ana menoleh ke belakang.
"Aku bisa jelasin semuanya Ana"
Laki-laki itu menghampiri Ana dari belakang. Ana beranjak pergi tanpa menoleh ke arah laki-laki itu lagi.
"Aku bisa jelasin semuanya, kemarin ada rapat BEM mendadak Ana" sambil mengambil nafas dalam karena memang harus, laki-laki itu melanjutkan kalimatnya, "rapat membahas tentang persiapan OSPEK adik kelas kita."
"Rapat tentang bagaimana ngedeketin adik kelas nantinya ya" dengan ketus akhirnya Ana mau menjawab.
Laki-laki itu tersenyum, "Mana ada rapat seperti itu? Kamu cemburu Ana?"
"Aku? Cemburu? Sama kamu? Nggak...."
"Sudah dulu ya, aku mau ke kelas." Ana menutup percakapan itu dan berjalan setengah berlari ke kelasnya.
"JAM MAKAN SIANG NANTI AKU TUNGGU DI KANTIN YA?" teriak laki-laki itu dari belakang.
***
Seperti biasa, siang ini kantin dipenuhi orang-orang yang mau menghabiskan jam makan siangnya. Revan duduk sendirian di kursi paling pojok kantin, dengan satu kursi kosong di depannya, tentunya itu kursi untuk Ana, gadis yang iya tunggu kedatangannya. Keadaan berbalik, sekarang Revan yang gelisah menunggu kedatangan Ana. Sudah jam satu siang lebih, orang-orang yang tadi rame-rame berkumpul di kantin kini mulai berhamburan satu persatu, mereka kembali ke tempat mereka bertugas, nggak sedikit dari mereka berjalan dengan enggan, mungkin karena weekend masih lama atau mungkin juga karena tanggal gajian belum di depan mata.
Sudah dua gelas minuman ada di meja Revan, satu gelas sudah kosong hanya terisi ampas buah, satu gelas lagi terisi teh dingin yang sudah diminum setengahnya. Revan sudah hampir menghabiskan dua gelas minuman namun Ana belum juga datang.
Tak lama setelah Revan meneguk es teh nya sebagai tegukan terakhir, Ana tiba-tiba berdiri di depannya. Ana tampak ngos-ngosan, bukan karena dia membawa begitu banyak buku di tasnya dan beberapa ia peluk di dadanya. Tampaknya Ana sedikit berlari tadi saat menuju ke kantin, takut-takut laki-laki yang menunggunya sudah pergi, dan takut berfikir kalau Ana memberi balasan untuk kecewanya kemarin. Ana bukan gadis yang seperti itu, yang di fikirannya hanya bagaimana caranya agar dia bisa selalu sedekat ini dengan Revan atau lebih tepatnya mungkin nggak suatu saat Ana dan Revan bisa tinggal di satu atap rumah yang sama mengingat hal yang membedakan diantara mereka.
"Sudah lama ya?" sambil menjatuhkan dirinya di kursi kosong yang sedari tadi menunggu untuk diduduki, Ana bertanya dengan ngos-ngosan.
"Nggak, aku baru datang kok"
"Ini gelasnya siapa?" sambil mengernyitkan dahi Ana menunjuk kedua gelas yang sudah kosong.
"Ohh... ini gelas pelanggan tadi, mbaknya belum sempat ngambil saking ramainya." jawab Revan sambil memberi kode ke mbak-mbak kantin untuk segera mengambil gelasnya.
"Kamu mau makan atau minum apa?"
"Aku minum soda gembira saja" jawab Ana.
"Soda nggak baik buat kesehatan, jangan sering-sering minum gituan nanti" Revan memesan minuman sambil menasehati Ana.
Ana hanya mengganguk manis sebagai tanda dirinya penurut. Beberapa detik Ana menatap mata Revan, mata yang tidak terlalu bening, namun memancarkan kepolosan dan kasih sayang, kasih sayang yang membuat dia disukai banyak gadis-gadis di kampus ini, terlebih karena Revan terbilang cukup berprestasi di bidang akademik, juara satu debat bahasa inggris tingkat perguruan tinggi swasta tahun ini.
Di satu sisi, terlihat Revan yang tampak sedikit bingung memulai pembicaraan dari mana. Memang nggak seperti biasanya Revan kehilangan kata-kata.
"Ana.."
"Aku minta maaf soal kemarin, bukannya aku lupa janji kita ketemu tapi aku nggak bisa meninggalkan rapat, handphone-ku juga mati kemarin, tahu kan kondisi handphone-ku kaya gimana?"
"Aku kan sudah bilang ganti saja handphone-mu, kamu bisa pakai tabunganku buat nambahin beli handphone."
"Nggak usah, aku sudah cukup pakai ini, sayang uangnya buat beli handphone, mending pakai kuliah atau beli buku." jawab Revan tanda nggak setuju.
"Ahh kamu selalu kaya gitu, sekali-sekali manjain dirimu."
Revan memang sosok yang sangat memperhitungkan keuangannya, maklum untuk kuliah saja Revan harus kerja freelance di berbagai tempat. Revan membiayai kuliahnya sendiri, sangat berbeda dengan Ana, sosok anak yang serba berkecukupan bahkan lebih.
Setelah percakapan tentang handphone itu, tak ada lagi percakapan apapun diantara mereka. Hanya saling menatap, sesekali salah satu dari mereka memalingkan muka dan kembali menatap. Ana memang sudah yakin akan perasaannya ke Revan, namun takut Revan hanya menganggapnya sebagai teman, mungkin juga lebih, namun lebihnya tak cukup untuk mereka sebut sebagai pacar. Begitu juga Revan, memiliki perasaan yang sama, gadis di depannya adalah alasan baginya untuk selalu semangat bertahan di kota besar ini, merantau sendirian, jauh dari keluarga.
Keduanya memiliki perasaan yang sama. Tak satu pun dari mereka pernah mengutarakan perasaan mereka, apalagi panggilan sayang, nggak pernah ada yang namanya panggilan sayang. Hanya tindakan nyata dari keduanya yang cukup terlihat, yang cukup bagi beberapa teman mereka untuk tahu kalau keduanya saling memperhatikan dan saling peduli.
Satu hal yang membuat mereka nggak pernah mengungkapkan perasaan mereka. Bukan, bukan karena perbedaan status ekonomi mereka. Ini bisa dibilang perbedaan yang sangat sensitif, lebih sensitif dari isu ekonomi. Semua orang pasti tahu apa yang lebih sensitif dari itu di negara ini, Agama. Saat dua orang dengan tempat ibadah yang berbeda jatuh cinta. Saat Revan menyerahkan diri di Masjid setiap jumat, Ana selalu meluangkan Minggunya bersama keluarga untuk datang ke Gereja. Revan dengan Alqurannya dan Ana dengan Alkitabnya. Revan dengan tasbih di tangannya, Ana mengalungkan rosarionya.
Saat keduanya mengingat semua hal yang secara kasat mata tampak berbeda, namun dengan makna yang sama, kata 'cinta' tak bisa mereka ungkapkan.
2 komentar
ya elahhh
ReplyDeletekeburu ngantuk hehhehe
Delete