JANGAN MENANGIS! ANAKKU
Siang itu, hari keenam dibulan April 2017, aku baru saja turun dari speed boat yang telah membawaku menyebrang dari pulau yang letaknya sebelah selatan pulau Bali, pulau kecil tempat kampungku berdiri.
Aku yang ditemani anak keduaku, menunggu jemputan anak pertamaku yang akan membawaku ke kontrakannya, sedangkan anak keduaku tinggal di tempat berbeda, yang jaraknya lumayan jauh dari kontrakan kakaknya. Dia kos di kos-kosan dekat sekolahnya.
Belum ada lima belas menit kami menunggu, anak pertamaku pun datang dan anak keduaku pamitan untuk pergi lebih dulu dengan motor yang aku belikan beberapa tahun lalu saat dia masih duduk di bangku SMP. “Jangan menangis!” pesan yang hanya terdiri dari dua kata itu aku sampaikan kepada anak keduaku, aku sendiri tidak tahu kenapa aku berpesan seperti itu.
Setelah anak keduaku pergi, aku dan anak pertamaku pun pergi ke rumah kontrakannya, besok aku harus kontrol ke Rumah Sakit Umum Pusat bagian Pelayanan Jantung Terpadu, tentunya diantar oleh anak pertamaku.
Sesampainya di rumah kontrakan yang ukurannya tidak terlalu besar itu, aku pun langsung mengistirahatkan diri, dengan selang oksigen di kedua lubang hidungku, kedua kakiku yang sudah mulai membengkak ini pun aku selonjorkan sepanjang sofa dengan lubang-lubang dan robekan di beberapa bagian serta spons yang sudah tak empuk lagi di salah satu sisinya.
Seperti sore-soreku yang lain, aku habiskan untuk menonton adegan demi adegan, konflik demi konflik yang ada di drama India, drama yang sering jadi bahan protes oleh suami dan anak-anakku, “Drama yang membuat otak menjadi tegang” begitu kira-kira protes mereka. Di tengah-tengah jeda iklan, aku teringat akan pesan dua kata yang telah aku lontarkan kepada anak keduaku tadi siang, “Jangan Menangis!”. Aku tersadar pesan itu memiliki makna lain atau mungkin itu cuma bagian dari pesan yang lebih panjang seperti “Kamu sudah dewasa, Ibu sudah tidak kuat lagi, jangan menangis karena kepergian ibu.”
Aku yang ditemani anak keduaku, menunggu jemputan anak pertamaku yang akan membawaku ke kontrakannya, sedangkan anak keduaku tinggal di tempat berbeda, yang jaraknya lumayan jauh dari kontrakan kakaknya. Dia kos di kos-kosan dekat sekolahnya.
Belum ada lima belas menit kami menunggu, anak pertamaku pun datang dan anak keduaku pamitan untuk pergi lebih dulu dengan motor yang aku belikan beberapa tahun lalu saat dia masih duduk di bangku SMP. “Jangan menangis!” pesan yang hanya terdiri dari dua kata itu aku sampaikan kepada anak keduaku, aku sendiri tidak tahu kenapa aku berpesan seperti itu.
Setelah anak keduaku pergi, aku dan anak pertamaku pun pergi ke rumah kontrakannya, besok aku harus kontrol ke Rumah Sakit Umum Pusat bagian Pelayanan Jantung Terpadu, tentunya diantar oleh anak pertamaku.
Sesampainya di rumah kontrakan yang ukurannya tidak terlalu besar itu, aku pun langsung mengistirahatkan diri, dengan selang oksigen di kedua lubang hidungku, kedua kakiku yang sudah mulai membengkak ini pun aku selonjorkan sepanjang sofa dengan lubang-lubang dan robekan di beberapa bagian serta spons yang sudah tak empuk lagi di salah satu sisinya.
Seperti sore-soreku yang lain, aku habiskan untuk menonton adegan demi adegan, konflik demi konflik yang ada di drama India, drama yang sering jadi bahan protes oleh suami dan anak-anakku, “Drama yang membuat otak menjadi tegang” begitu kira-kira protes mereka. Di tengah-tengah jeda iklan, aku teringat akan pesan dua kata yang telah aku lontarkan kepada anak keduaku tadi siang, “Jangan Menangis!”. Aku tersadar pesan itu memiliki makna lain atau mungkin itu cuma bagian dari pesan yang lebih panjang seperti “Kamu sudah dewasa, Ibu sudah tidak kuat lagi, jangan menangis karena kepergian ibu.”
0 komentar