LAMPU MERAH, IAM IN LOVE

by - October 09, 2018

Ada yang masih ingat nggak dengan piala AFF tahun 2010, saat itu Timnas Indonesia kalah sama Timnas tetangga secara agregat yang sekaligus membuat Indonesia gagal jadi juara Piala AFF kala itu. Aku yang menonton dengan setianya pertandingan itu di tv kosnya Ibenk dengan beberapa camilan kering yang aku rampok dari sang tuan rumah, merasa cukup kecewa dan sakit hati saat melihat selebrasi dari hasil kemenangan Timnas tetangga. Sebagai akibat kecewa, aku menghabiskan makanan yang ada di kos Ibenk berhubung sang tuan rumah nggak ada di rumah dan di kosku sendiri nggak ada makanan, dengan harapan bisa melupakan kekalahan Timnas Indonesia. Ternyata makan makanan hasil nyolong nggak membuat suasana hati ini membaik, malah bikin aku takut kena azab kayak di sinetron-sinetron kesayangan dagang pecel favorit kalian. Aku segera pulang, takut-takut nanti yang punya kamar pulang dan ngomel-ngomel, atau mungkin malah nyumpahin, “aku sumpahin kamu diputusin Aura kasih Gung”.

Di lampu merah ehhh traffic light, aku melihat sosok wanita yang lagi kerepotan menstart motor matiknya, memang dasar tingkat kemuliaan hati ini sangat tinggi, dengan keinginan luhur akhirnya aku bantuin tuh cewek buat nyalain motornya sambil berdoa “Ohh Neptunus, jangan biarkan aku malu di sini, nyalakanlah motor ini”, akhirnya motor itupun mau menyala, doa anak soleh ini dikabulkan.

Setelah mengucapkan terima kasih, cewek itu berlalu begitu saja dan akupun melanjutkan perjalananku yang sempat tertunda demi kemanusiaan. Lewat beberapa meter dari lampu merah tersebut, kulihat cewek tadi, sambil membunyikan klakson aku mendahuluinya, nggak lama setelahnya dia mendekati motorku dan bilang makasi lagi sambil nanyain nomor handphone-ku, sebagai cowok yang murahan, sorry…sorry murah hati maksudnya, akupun ngasih nomor handphone-ku yang kebetulan sudah aku simpan di memori otak bagian kiri agak kebelakang sedikit. Dia pun nge-save tuh nomor di handphone-nya sambil mengendarai motornya, dengan rasa disiplin yang tinggi dalam berkendara akupun meniup pluit dan mengingatkan “Maaf mbak, dilarang main handphone sambil berkendara” (Oke yang ini bohongan).

Sesampainya di kos, aku seketika ingat kejadian tadi, aku penasaran itu benar manusia berjenis kelamin cewek, atau manusia wanita pria (waria) karena kebetulan dekat-dekat daerah tadi itu terkenal dengan tongkrongan para waria, tapi masa iya sih waria-waria nasional ada yang segitu cantiknya, kulit putih bertubuh mungil dan berambut, biasanya waria nasional itu badannya kekar-kekar beda sama waria-waria di Thailand yang memang hampir nggak bisa dibedain sama cewek asli. Jangan-jangan tadi itu bukan manusia tapi kuntilanak? Tapi kok bisa bawa motor ya, biasanya kan nangkring di atas pohon? Sedikit ada rasa sesal karena sudah sembarangan ngasih nomor handphone ke orang, iya kalau itu orang, kalau kutil-anak bagaimana? Aku jadi parno semalaman, biar pun kegantengan ini nggak banyak yang menyangkal, tapi tetap saja baru kali ini aku dimintain nomor handphone sama cewek, tentunya selain mbak-mbak pegawai toko pulsa eceran di depan gang. Secara nggak sadar, ternyata kejadian tadi itu bikin aku nggak kefikiran lagi sama kekalahan Timnas Indonesia di piala AFF tadi. Daripada mikirin cewek tadi itu beneran manusia atau nggak, itu kejadian nyata atau cuma halusinasi, mending aku tidur besok pagi ada kelas tambahan (fikirku).

Besok paginya aku bangun dengan utuh, mata saya dua, hidung saya satu, kaki saya dua pakai sepatu bau. Dengan sedikit stretching di tempat tidur sambil nyariin bekas iler di bantal, kali aja aku ngiler ternyata nggak, nggak banyak. Sebelum mandi tak lupa ku tolong ibu merapikan tempat tidurku.

Karena aku adalah pemuda yang sangat menjunjung tinggi kebersihan lingkungan dan ingin mengurangi polusi di kota Denpasar ini, sebelum berangkat kuliah akupun mandi dulu, kali ini aku tak lupa pakai sabun, setelah mengeringkan badan indah ini dengan saputangan, iya dengan saputangan karena handukku ternyata kehujanan semalam, akupun menggunakan parfum seadanya demi mengurangi polusi udara di jalan nanti akibat burket yang nggak teratasi ini. Sambil nyanyi-nyanyi dengan kualitas suara yang nggak perlu diragukan lagi ke ‘fals’annya aku berdandan dengan semangat, siapa tahu nanti ada ngajak kenalan lagi di lampu merah ehh traffic light.

Dalam lima menit prosesi dandan kelar, aku berangkat ke kampus dengan penuh harapan suatu saat nanti jadi kebanggaan bangsa ini (Amin). Di jalanan bukannya ada yang minta nomor handphone atau diikutin sama cewek-cewek abg sambil teriak-teriak histeris, aku malah dihadang oleh genangan air yang membabi buta di Jalan Tukad Yeh Aya, aku dan bapak-bapak yang mau mengais rezeki demi anak istri dan beberapa demi simpanannya, terpaksa putar arah mencari jalan alternative.

Aku sampai di kampus dengan selamat tanpa kekurangan apapun kecuali uang jajan, baru juga naruh tas di meja sudah disamperin sama tukang palak kelas untuk ditagih uang iuran, maka makin berkuranglah uang jajan yang sebenarnya sudah kurang. Sambil menunggu kabar kalau dosenku nggak bisa mengajar hari itu (ngarep), aku buka handphone kali aja Aura kasih ada sms mau ngajak ngedate.

“Pagi”

“Pagi juga, siapa ya?” balasku pura-pura nggak tahu.

“Ini aku yang semalam motornya mati, oya kenalin namaku Piita” demi kepentingan kita bersama namanya aku plesetin sedikit.

“Ohh tak kira siapa, aku Igung, salam kenal”

“Iya salam kenal Gung, aku ganggu kamu nggak nih sekarang?”

“Nggak kok, kebetulan aku lagi santai aja nih” sambil naikin kaki ke kepala teman saking santainya.

“Syukur deh, sekali lagi aku mau bilang makasi nih sudah bantuin semalam”

“Udah santai aja cuma gitu doang ahhh”

Sekitar setengah jam berikutnya nggak ada balasan dari dia, dan dosenku pun masuk kelas dengan semangatnya siap memberi materi kuliah sedangkan aku yang merupakan salah satu anak telat’an siap untuk menerima ilmu dari Sang Guru. Di tengah-tengah keseriusanku diskusi sama teman tentang materi kuliah saat itu, kalau nggak salah materinya tentang korelasi kenaikan BBM terhadap kejadian luar biasa kutilan di kabupaten xyz (nggak-nggak…), aku dapet sms yang berbunyi:

“Sbb (Sorry baru balas) Gung, aku baru sampai tempat kerja nih, aku kerja dulu ya, thaaaa…thaaaaa”

“Iyaa Pii, yang rajin kerjanya” aku balas sambil memberi sebongkah semangat. Aku menebak-nebak kira-kira dia kerja dimana. “Nggak mungkin dia pekerja malam karena dia mulai kerjanya pagi, nggak mungkin dia kuli bangunan, orang badannya mungil kaya linggis gitu, nggak mungkin juga polwan orang rambutnya nggak cepak, apalagi pawang buaya, nggak…nggak mungkin”

Saking seriusnya mikirin kira-kira apa kerjaannya Piita, nggak terasa kelas mau berakhir, sedih rasanya karena harus terpisah dengan dosenku, dan yang lebih bikin sedih habis ini ada kelas lagi “Ohhh NEPTUNUS, KAPAN PENYIKSAAN INI BERAKHIR?” aku berteriak dengan binalnya di dalam kelas, teriakanku dibalas dengan nyanyian yang tiba-tiba melantun dari dagang pecel di sebelah kampus.

“…….Lihatlah Wajah Ibu Pertiwi

Pucat, Letih, Dan Sedihnya Berkarat

Berdoa, Terus Berdoa

Hingga Mulutnya Berbusa-Busa

Ludahnya Muncrat Saking Kecewa

Ibu Pertiwi Hilang Tawanya

Tak Percaya Masih Ada Cinta

Seluruh Hidupku Jadi Siaga

Pagar Berduri Kutancapkan Dihati

Untukmu Negeri…….”

(Untukmu Negeri, Iwan Fals)

Lagu Bang Iwan pun mengetuk pintu hatiku yang sebening air mata ibu pejabat ketika meminta keadilan sama KPK, hati ini pun terbuka, aku juga nggak mau tanah air ini kehilangan generasi emasnya gara-gara aku malas belajar, “Baiklah pak dosen, aku siap menelan engkau, ehhh menelan materi kuliahmu maksudnya pak” gumamku dalam hati. Tapi sebelum menelan materi kuliah, ada baiknya aku menelan makanan untuk membakar semangat ini lagi, aku dan beberapa teman sekelasku menuju dagang pecel yang memainkan lagunya Bang Iwan tadi untuk meminta sepiring dua piring makanan, sungguh cara promosi yang efektif dari abang pecel ini.

Sampai kuliah berakhir hari itu, aku nggak ada lagi dapat kabar dari Piita, aku juga ragu kalau harus menghubungi dia duluan, aku belum tahu kerjaannya dia apa, siapa tahu dia seorang mata-mata yang tengah bertugas, bisa-bisa sms-ku membuat dia ketahuan dan menggagalkan misinya. Sampai sore tiba aku masih bingung mau ngapain, hanya remote tv lah yang bisa aku jadikan pelampiasan akibat rasa bosanku.

Setelah tiga kali bolak-balik kamar mandi nggak jelas, channel tv berganti lagi dan lagi namun tak ada satupun acara tv yang menarik perhatianku sampai aku melihat cuplikan acara Benteng Takeshi di tv, dalam permainan itu cuma ada dua pilihan yaitu jika berhenti maka kamu akan kalah tanpa melakukan apa-apa karena waktu terus berkurang dan pesaing terus berdatangan, sedangkan pilihan kedua yaitu lanjutkan, setidaknya pilihan ini ngasih kamu dua kemungkinan, gagal atau lolos. Sama seperti situasi saat ini jika aku diam dan hanya menunggu Piita yang menyapaku maka kemungkinanku kalah lebih besar karena waktu terus berkurang dan kemungkinan besar diluar sana banyak pesaing-pesaingku yang ingin mendekatinya yang walaupun aku sendiri sebenarnya belum ada rasa apa-apa sama dia, aku hanya butuh teman ngobrol saat ini, akhirnya aku beranikan diri sms Piita sambil berharap dia bukan mata-mata atau ninja yang lagi bertugas, lagian sudah jam lima sore harusnya sudah jam pulang kerja.

“Pii, masih kerja ya? Malam ini kamu ada acara nggak?”

“Udah mau pulang sih tapi teman-teman mau ngajakin makan dulu, nggak tahu sampai jam berapa, kenapa Gung?” balasnya.

“Ohh gitu, maunya tak ajakin keluar nonton atau kemana gitu, bosan di kamar terus nggak ada kerjaan”

“Pacarnya kemana? Lagi sibuk ya?”

“Pacarku jauh Pii, LDR-an gitu, aku di sini pacarku di masa depan, jauh banget kan?”

“Walahhh, kasian juga ya kalau LDR-annya kayak gitu Gung, bisa aja kamu.”

Aku nggak tahu harus balas apalagi, intinya jawabannya hari ini dia belum pasti bisa keluar denganku, tapi setidaknya masih ada kemungkinan bisanya. Kira-kira apa yang bisa aku lakukan buat ngebunuh waktu malam ini? Ibenk? Dia lagi sibuk dengan segala aktivitasnya di kampus dan juga sibuk sebagai sales kutang. Bagaimana dengan Wayan, dia lagi sibuk dengan pacar barunya, aku dicuekin dan saat ini aku sedang getol-getolnya memanjatkan doa agar mereka putus dan kembali ke pelukanku lagi, kadang egois itu perlu.

Meskipun sudah satu tahun aku tinggal di kota ini, tapi aku belum punya banyak teman, ya jujur saja aku memang sedikit pemalu di depan orang yang belum benar-benar aku kenal, tapi kalau sama teman yang sudah dekat banget kadang akulah yang sering membuat mereka malu, misalnya pernah suatu hari aku nganterin Ibenk ke Cellular World, di depan toko handphone itu, ada beberapa orang menggunakan kostum aneh, sebenarnya hal kayak gitu sudah pernah kulihat di beberapa lampu merah, ada yang menggunakan kostum beruang dengan tujuan menghibur orang-orang yang sedang menunggu lampu hijau menyala, mereka akan ngasih duit receh ke orang berkostum badut itu, ya bisa dibilang seperti ngamenlah, aku nggak tahu apa itu namanya. Nah, aku fikir badut-badut yang didepan Cellular World itu sama kaya mereka yang di lampu merah, dengan menjunjung tinggi perikemanusiaan, aku pun melemparkan duit receh di depan badut yang sedang menari-nari dengan binalnya. “ehh Gung, mereka tuh maskot untuk promosi bukan badut di lampu merah, malu-maluin aja loe!!” bisik Ibenk di depan telingaku.

***

Matahari tampak mulai menjatuhkan diri, langit tampak kemerahan pertanda senja, aku cuma duduk-duduk saja di depan kamar kos sambil ngelihatin Ibu kos menyapu halaman rumahnya dan baru saja aku berniat untuk sedikit mengelus halus motorku yang berdebu, Ibu kosku berkata “Ibu kok nggak pernah lihat Igung ngajak teman ceweknya ke sini sih?”

“Wong masih fokus belajar toh Bu.” Mbak-mbak tetangga kosku nyahut sambil keluar dari kamarnya.

“Belum punya pacar bu”, sambil ngeluarin senyum simpul aku menjawabnya.

Mereka berdua akhirnya bercakap-cakap dari kejauhan dengan bahasa jawa, tetangga kosku ini mbak-mbak dari Jember sedangkan Ibu kosku dari Banyuwangi yang sekarang menikah dengan orang bali. Beliau itu kalau ngomong dengan bahasa jawa jadi kelihatan banget tanah kelahirannya tapi kalau ngomong bahasa bali sudah kaya orang bali tulen. Sambil mengelus-elus halus motorku, aku mendengarkan percakapan mereka dengan sedikit usaha untuk mengartikannya, takutnya mereka menjadikan status kejombloanku itu sebagai lelucon buat mereka, tapi apa daya aku tetap nggak ngerti percakapan mereka dan memasrahkan ketidaklakuanku ini jadi bahan lelucon mereka.

Sekitar jam delapan malam, aku baru menerima kabar lagi dari Piita, dia bilang jadi mau nonton film denganku, berhubung hari sudah malam kami memutuskan untuk ketemuan saja di bioskop, aku segera bergegas menyiapkan diri. Dengan penampilan yang menurutku sudah maksimal, tak lupa kukenakan kemeja flannel kotak-kotak andalanku sebagai tameng dinginnya malam, aku pergi ke bioskop berharap semua berjalan lancar hari ini.

Setelah membeli dua buah tiket film horror, kebetulan hanya film itu yang tersisa, aku menunggu Piita sambil memperhatikan beberapa calon penonton yang kira-kira bakal aku ajak nonton entar di studio. Ada empat orang remaja yang masih lengkap dengan seragam sekolahnya yang bermotif kotak-kotak, entah mereka dari PAUD mana aku nggak tahu, tiga diantaranya cewek dan satu lagi cowok yang kadar ke-feminim-annya nggak beda jauh dengan ketiga teman ceweknya. Ada juga sepasang kekasih beda suku dan ras, si pria seorang bule dengan tinggi hampir dua meteran dan kekasihnya wanita bali dengan kulit eksotis berminyak, yang tingginya hampir sama denganku.

Setelah beberapa menit menunggu, aku melihat Piita dari jauh menuju ke arahku, semoga dia masih ingat mukaku. Dari kejauhan dia tampak senyum dan melambaikan tangan padaku, belum juga mulai filmnya tapi dia udah nyerah melambai-lambai kayak gitu, fikirku. Aku mulai merasa sedikit ada rasa canggung, semakin dia dekat semakin aku nggak tahu harus bersikap seperti apa di depannya. Aku berdiri dan kami pun berhadap-hadapan “Hay…” , aku menyapanya duluan, “Hay Gung…”

Dia tampak menawan, beda dengan kemarin saat pertama ketemu di lampu merah, dia tampak lusuh saat itu, kali ini dia tampak segar kaya ikan di pasar yang baru diambil dari nelayannya langsung. Mungkin itu karena sedikit polesan lipstick merah di bibirnya. Matanya tampak lebih besar akibat lensa kontak yang dia gunakan, sehingga sekilas dia seperti melotot melihatku, seolah-olah aku telah berbuat nista terhadapnya. Kedua pipinya tampak kemerahan tapi tak semerah pipi Jeng Kelin. Rambut terurai bebas menempel manja di pundaknya. Perpaduan sneakers dan rok pendek yang sesekali tertiup angin membuat penampilannya semakin menarik saja di mataku.

Sambil menunggu film dimulai, dia menceritakan tentang dirinya, sekarang aku baru tahu kalau dia bekerja di Carrefour di jalan Sunset Road sebagai Sales Promotion Girl, dari ceritanya tentang pengalaman sebagai Sales Promotion Girl, ternyata banyak tantangan yang harus dia hadapi mulai dari tuntutan penjualan yang harus memenuhi target sebelum masa yang sudah ditentukan, godaan dari berbagai customer yang seringkali melecehkan, kadang juga harus kuat dicuekin calon customer dan tahan terhadap penolakan-penolakan.

Sebelum dia melanjutkan cerita tentang dirinya itu, aku sedikit menyela, aku menanyakan apakah nanti nggak ada cowok yang marah kalau tahu dia nonton film bersamaku, dia memastikan kalau dirinya baru saja putus dengan cowoknya, sempat aku berfikir kalau saat ini dia cuma butuh teman untuk membantunya move on dari mantannya itu. Oke, aku rasa nggak apa-apa, setiap orang mempunyai cara untuk memulihkan hatinya yang patah termasuk dengan cara mengenal orang baru, dan aku senang jika jadi bagian dari caranya pulih dari masalalu, aku berharap semoga kami nggak larut dalam kenyamanan yang mungkin akan kami rasakan selanjutnya.

Kali ini giliran dia yang menanyakan apa aku sudah punya pacar atau belum, aku jawab sesuai jawabanku sebelumnya, cewekku lagi di masa depan entah saat ini dia lagi ngapain dan dengan siapa aku nggak tahu, dia hanya tertawa kecil sambil mengangguk meng’iya’kan jawabanku. Kami juga jadi tahu ternyata usia kami nggak beda jauh, aku sembilan hari lebih tua darinya.

Dari ceritanya, aku juga mendapat jawaban kenapa malam itu untuk pertama kalinya ada seorang cewek yang mengajak aku kenalan dan meminta nomor handphone-ku. Piita bilang kalau dia sebenarnya juga takut saat aku membantunya malam itu, dia takut jangan-jangan aku adalah germo yang akan mencoba menculik dia atau mungkin aku seorang penculik anak-anak yang ingin menculiknya, bahkan sempat juga dia mengira aku seorang pedofilia yang ingin menculiknya, mengingat dirinya bertubuh mungil, yang sering diejek seperti anak-anak oleh temannya, sejenak dia tertawa setelah mengatakan sesuatu yang terkesan menghinaku itu. Dia melanjutkan ceritanya, setelah dia melihat aku mendahului motornya dan meninggalkan dia dibelakangku, semua ketakutannya hilang, dia tahu kalau aku nggak berniat melakukan hal-hal aneh terhadapnya. “Itu murni demi kemanusiaan” aku menyela. Karena nggak mau bertele-tele, maka malam itupun dia memberanikan diri meminta nomor handphone-ku. “Buat jaga-jaga siapa tahu nanti ban motorku pecah dijalan, jadi nggak bingung minta bantuan siapa” sambungnya, kamipun tertawa.

Filmnya akan segera dimulai, sebelum masuk studio kami membeli minuman hangat karena didalam studio pastinya akan dingin banget, aku menawarkan popcorn namun dia nggak mau karena kami kehabisan popcorn manis, yang tersisa hanya yang asin, “Kalau mau asin keringatku juga asin” ujarnya.

Dia tampak serius menonton setiap adegan-adegan yang katanya menegangkan, detik-detik ketika sang hantu akan muncul namun tak kunjung muncul-muncul, hanya backsound-nya yang terdengar seram namun tokoh yang ditunggu-tunggu tak muncul di layar, hanya ada tokoh-tokoh yang mengerang ketakutan, nggak kebayang kalau backsound filmnya diganti dengan musiknya spongebob mungkin beda lagi kesannya. Piita tampak serius menunggu hantunya muncul di layar, sedangkan aku nggak begitu tertarik dengan film horror, aku sendiri lebih tertarik mendengar cerita Piita tentang dirinya.

Akhirnya film yang berdurasi dua jam inipun berakhir, aku mengajak Piita untuk makan atau sekedar keliling-keliling Mall sebentar, namun dia harus segera pulang karena besok dia shift pagi di tempat kerjanya. Shift paginya dimulai jam delapan pagi tentunya minimal dua jam sebelum itu dia pasti sudah bangun, ritual dandan cewek pastinya memakan waktu berjam-jam, apalagi dengan pekerjaannya yang menuntut dia harus berpenampilan semenarik mungkin. Shift paginya baru akan berakhir jam empat sore, dan dilanjutkan dengan shift sore sampe jam sepuluh malam.

Kami berpisah di depan studio, sekitar lima meter di depanku dia berbalik arah, “makasi ya” ucapnya, aku cuma tersenyum sambil mengangguk lalu dia berjalan membelakangiku sedangkan aku terus ngelihatin punggungnya takut setan di film tadi menempel disana, sampai akhirnya dia berbelok arah dan menghilang dari pandanganku. Semoga ini bukan terakhir kalinya kami bertemu.

Nggak ada pertemuan lagi setelah itu, kami hanya saling bertukar pesan singkat. Lewat pesan singkatlah kami saling mengabarkan tentang diri kami masing-masing, kami saling menanyakan apa masing-masing dari kami sudah makan atau belum, sedang apa saat ini, pertanyaan-pertanyaan klasik yang sangat membosankan.

***

Beberapa jam sebelum malam pergantian tahun, kami memutuskan untuk melewatinya bersama, taman kota jadi pilihan kami, hampir semua orang akan berkumpul di sana, meledakkan uang-uang mereka di udara untuk kemeriahan malam pergantian tahun. Beberapa menit sebelum jarum jam kompak menunjuk ke atas, hujan turun namun nggak ada yang meninggalkan tempat mereka karena memang nggak terlalu deras dan nggak mau penantian mereka beberapa jam sebelumnya jadi sia-sia.

Mulai terdengar hitungan mundur, dibarengi dengan ledakan yang makin menjadi-jadi. Telingaku sepertinya mulai budeg kaya habis dengerin kentut Godzilla apalagi ditimpali dengan bau mesiu yang semakin menyengat, sungguh perpaduan yang pas. Orang-orang sibuk mendongak ke atas menyaksikan indahnya langit malam itu, termasuk aku. Aku kaget, bukan karena ledakan-ledakan yang saling bersahutan itu tapi karena Piita tiba-tiba memelukku, kedua tangannya nyangkut di bahuku, aku diam tak berkutik. “Apa ini?” tanyaku dalam hati. Aku nggak menghindar ataupun membalas.

Satu ciuman di pipi sebagai penutup pelukannya, aku masih diam, dia juga diam memalingkan wajahnya ke arah kembang api terbesar saat itu, kami canggung. Aku tahu kami nggak benar-benar menikmati ledakan-ledakan yang saling bersahutan itu lagi seperti sebelumnya.

Sama seperti orang-orang yang nggak berhenti membuat langit bising malam itu, langitpun nggak mau kalah, sesekali muncul kilat di langit dan diikuti suara gemuruh, gerimis terus turun, sedikit demi sedikit pakaian kami basah. Aku mengajak Piita untuk pulang sebelum hujan makin deras dan flu ataupun demam menyerang, namun dia belum mau pulang katanya dan makan jagung pasti akan membuat dirinya lebih hangat.

Kami menuju bapak tua yang sedang sibuk mengipas bara, dibantu seorang anak yang kira-kira masih duduk di bangku sekolah dasar, entah itu anak atau cucunya aku nggak peduli, tapi aku sedikit malu, mengingat apa yang anak ini lakukan berbeda denganku yang seumuran segitu dengan gampangnya minta mainan sambil nangis-nangis.

Sambil menikmati jagung kami yang sedikit gosong namun kurang matang di bagian pangkalnya kami sesekali mendongak keatas, kembang api tampak mulai berkurang, “Habisin dulu jagungnya baru kita pulang ya”, aku hanya mengangguk tanda setuju.

Diperjalanan pulang aku sibuk dengan fikiranku yang tiba-tiba teringat kejadian tadi saat Piita memelukku, namun nggak ada ungkapan “aku suka kamu” atau “aku sayang kamu”, mungkin kami belum yakin dengan apa yang kami rasakan, satu-satunya yang benar adalah rasa nyaman yang kami rasakan.

“Besok shift apa?”

“ Shift sore, kenapa?”

“Aku anterin ya?” aku nggak sadar tiba-tiba menawarkan diri untuk nganterin Piita ke tempat kerjanya.

“Kamu nggak kuliah memangnya?”

“Aku kan kuliahnya sore, sebelum kuliah aku nganterin kamu dulu, aku kuliahnya nggak sampai jam sepuluh malam, nanti dari kampus aku langsung jemput, mau ya?” aku sedikit memaksa.

“Iya boleh” jawabnya sambil senyum.

Sesampainya di rumah, kami disambut oleh dua anjing minipom yang bulunya terlihat nggak terawat, Piita sedikit tampak buru-buru membuka kunci gerbang karena hujan turun makin deras sejak kami mulai masuk ke gang rumahnya tadi.

“Kakakmu kemana?” aku nanyain keberadaan kakaknya karena aku tahu dia di Bali hanya tinggal dengan kakaknya sedangkan kedua orang tuanya tinggal di Balikpapan.

“Palingan masih keluar sama cowoknya atau teman-temannya” jawabnya sambil melemparkan aku handuk putih bertuliskan “Shinzhui” di salah satu sudutnya yang baru dia ambil dari lemari di kamarnya.

Aku duduk di kursi tamu sambil mengeringkan rambutku dengan handuk, sesekali aku melirik ke sebuah bingkai kecil berwarna emas yang di tengahnya berisi nama Tuhan yang juga berwarna emas dengan background hitam. Tepat di bawahnya terdapat sebuah bingkai yang ukurannya empat kali lebih besar yang berisi kaligrafi bertuliskan arab dengan warna senada.

“Nyalain saja tv-nya Gung” teriaknya dari arah dapur.

Aku nggak menghiraukan perintahnya karena sedang sibuk dengan badanku yang masih basah, telapak kaki dan tangan juga terasa gatal akibat kedinginan. Dia datang dari arah dapur dengan membawa dua gelas teh manis panas. Karena saking dinginnya, tehnya tak terlalu panas ditanganku. Hujan terdengar mulai mereda, aku segera pamit pulang sebelum semakin deras dan banjir dimana-mana. Piita mengantarku sampai depan pintu, sebelum pulang aku lihat anjing minipom tadi tidur berhadap-hadapan nggak menghiraukan aku yang lewat disampingnya.

***

Ditanggal pertama ditahun yang baru ini, resolusiku yang pertama adalah mengawalinya dengan bangun sedikit lebih siang dari biasanya. Sekilas aku melirik kearah layar handphone yang aku letakkan di bawah bantal dari semalam, kali saja Aura Kasih ada sms tapi ternyata nggak, harapan yang sia-sia, akupun melanjutkan tidurku.

Keesokan harinya seperti janjiku, aku menjemput Piita kerumahnya dan mengantarnya ke tempat kerja. Semenjak hari itu kami jadi sering ketemu, hampir setiap hari kami ketemu. Kami sering menghabiskan waktu bersama, nggak sepi lagi hidupku meski tanpa Ibenk dan Wayan. Saat aku mengantar Piita ke tempat kerja, kami selalu melewati lampu merah tempat kami pertama kali ketemu, nggak bosan-bosannya kami mengungkit tentang awal pertemuan kami itu.

Ada saatnya juga Piita yang main ke kosku. Ketika pertama kali dia kekosku, aku ingat banget ekspresinya ketika melihat foto seorang dewi terbingkai rapi di pojok kamarku, tepatnya di arah timur laut kamarku, dibawahnya juga terdapat sesuatu yang aku yakin dia sudah tahu itu untuk apa, tempat aku menghaturkan sarana persembahyanganku. “Itu salah satu manifestasi Tuhanku, sebagai simbol bundanya alam semesta” aku menjawab pertanyaan yang belum terlontar dari mulutnya dan kamipun nggak ada membahas tentang itu lagi.

Ini juga jadi kali pertamanya ibu kosku melihat aku mengajak teman cewekku ke kos tentunya selain Ibenk, karena Ibenk dimata ibu kosku adalah seorang cowok, jadi dia nggak masuk perhitungan.

***

“Akhirnya Igung ngajak pacarnya juga ke sini” aku disambut dengan kalimat syukur dari ibu kosku ketika baru pulang dari kampus.

“Itu cuma temen saja bu” tukasku.

“Iya kan berawal dari temen dulu baru jadi demen Gung”

“Iya lihat saja nanti bu”

“Iya, di sini bebas kok Gung mau ngajak siapa saja boleh asal nggak ngelakuin macem-macem dan jangan terlalu berisik kalau pas malam, nggak enak sama tetangga” ibu kosku ini memang paling mengerti anak muda.

“Iya bu,” jawabku sambil memarkir motorku.

Akhirnya ibu kosku tahu sekarang kalau anak laki-laki satu-satunya yang ngekos di rumahnya ternyata masih normal dalam hal orientasi seksual, iya aku satu-satunya cowok yang ngekos di sini karena teman-temanku sudah pada pindah, aku sendiri malas harus ngangkut-ngangkut barang lagi, dan aku juga sudah nyaman dengan suasana kos di sini, apalagi bapak kos ku seorang kepala keamanan daerah sini, seenggaknya nggak ada yang berani nyolong sendalku.

***

Aku dan Piita memang nggak ada saling mengungkapkan perasaan masing-masing, aku masih yakin perasaanku ke dia itu cuma rasa nyaman nggak lebih, aku nggak tahu bagaimana perasaan dia ke aku. Sampai suatu malam sepulang kerja dia mampir kekosku. Saat dia lagi di kamar mandi untuk mencuci muka dan menghapus make up yang bertumpuk-tumpuk menempel di wajahnya seperti cat air yang menghiasi selembar kain kanvas, aku mendengar handphone-nya berbunyi, sekilas aku lihat ke layar handphone-nya ada nama seorang cowok menelpon, Piita memintaku menjawab panggilan itu untuknya, belum sempat aku menekan tombol di pojok kiri atas panggilannya sudah terhenti, sesaat setelah itu sms pun masuk, aku membukanya dengan niat menyampaikan ke Piita.

“Yang, sbg bukti maafku, aku ada kejutan buat km, lagi sejam aku jmput km ke rmh” Aku baca berkali-kali pesan singkat itu sampai akhirnya aku sadar kalau itu sms dari mantannya yang sekarang mungkin bukan mantan lagi. Belum sempat aku menyampaikan isi sms itu ke Piita, tiba-tiba dia sudah duduk di sampingku.

“Kamu sudah balikan lagi ya sama dia?” tanyaku dengan nada datar dan berusaha sedikit tenang.

“Aku ngasih dia kesempatan” jawabnya sambil memalingkan wajahnya.

“Iya, kesempatan itu selalu ada untuk setiap orang yang mau jadi lebih baik, kalau kamu percaya dia bisa berubah maka kasih dia kesempatan buat ngebuktiin, nggak ada orang yang bisa jadi lebih baik tanpa melakukan kesalahan pada awalnya.” Entah kesambet malaikat mana aku bisa jadi ngomong bijak kaya gini.

“Sejam lagi dia sampai rumahmu, kamu harus pulang sekarang biar kamu bisa sampai lebih dulu di rumah” lanjutku.

“Kamu marah? Bilang kalau kamu marah!!”

“Nggak sama sekali, aku bukan siapa-siapa yang berhak marah.” Jawabku kaku

“Jadi benar tebakanku selama ini kalau kamu memang nggak ada perasaan sama aku?” kembali dia melontarkan pertanyaan yang nggak mau aku dengar.

“Aku nggak ada perasaan apa-apa, aku cuma merasa nyaman saja, sehari dua hari aku akan terbiasa, cepat pulang sekarang sebelum dia sampai di rumahmu”

“Aku sudah mulai suka, iya suka atau mungkin sudah sayang sama kamu” katanya, dia tak menghiraukanku saat menyuruhnya pulang.

“Sehari dua hari perasaan itu bakal hilang dengan sendirinya, pulang sekarang langit sudah mendung” aku terus membujuknya untuk pulang secepatnya karena aku nggak mau percakapan kami terus berlanjut.

Dia diam dan mengambil tasnya, aku membantunya membereskan beberapa barang yang dia gunakan untuk membersihkan make up-nya. Aku mengantarnya sampai keluar gerbang, aku melihat ke atas, mendung tampak semakin tebal dan langit semakin gelap tapi mungkin tak lebih gelap dari perasaanku saat ini “Kayanya mau turun hujan, hati-hati entar dijalan”. “Iya” jawabnya.

Kira-kira sepuluh menit setelah dia pergi, dia menelponku, “ada apa ya kira-kira, perasaan aku nggak punya hutang sama dia?” aku bertanya-tanya dalam hati.

“Gung, aku lagi di selatan lampu merah tempat kita pertama kali ketemu, hujannya deras banget, dimotor kakakku nggak ada jas hujannya” ternyata dia menghubungiku karena kehujanan tapi itu lebih baik ketimbang karena mau nagih hutang.

“Iya tunggu disana di bawah pohon, aku kesana sekarang”

Aku langsung nyamperin dia dan membawakan jas hujan yang kebetulan di motorku ada dua buah.

“Ini pakai jas hujannya dulu, kamu hati-hati dijalan”

“Kapan aku balikin?”

“Nggak usah, kamu pakai saja, sekarang lagi musim hujan kemana-mana harus bawa jas hujan kalau pakai motor, kalau mau balikin nanti saja kalau sudah nggak musim hujan lagi” jawabku sedikit ngawur.

“Ya sudah kamu jalan sekarang, hati-hati” lanjutku.

Aku pun melepasnya kembali di tempat yang sama, di lampu merah yang sama, saat kami pertama ketemu, dengan sebuah jas hujan bekas sebagai kenang-kenangan dariku untuknya.



You May Also Like

0 komentar