NASI JINGGO BU RATNA DAN SEDAN HITAM PLAT 747 A
Ingin aku berteriak kesal dengan kondisiku saat ini. Aku juga ingin seperti teman-temanku yang lain, seperti mereka yang sepulang kuliah bisa langsung hangout ke tempat-tempat yang katanya lagi hits saat ini. Atau sekedar nongkrong di angkringan-angkringan terbaru sambil bergosip ria tentang cowok-cowok yang popular di kampus. Tapi apa dayaku, mau tidak mau aku harus menjalani semua ini, demi kuliahku dan demi adik-adikku.
Diselimuti rasa malas aku menyiapkan 75 bungkus makanan yang telah dimasak oleh ibuku dari sore tadi. Kalau di Yogya punya yang namanya nasi kucing, kamipun di sini di Bali punya nasi jinggo. Nasi putih dengan beberapa jenis lauk seperti ayam, mie, dll yang dibungkus dengan daun pisang, tentunya tak lupa diisi sambal pedas khas buatan ibuku. Nasi jinggo ini akan kami jual malam ini di pinggir jalan depan gang rumah kami.
Ini hari pertama aku berjualan di pinggir jalan sendirian seperti ini, biasanya ibuku yang berjualan ditemani adikku. Berbekal smartphone sebagai hiburan lengkap dengan powerbank-nya aku menunggu pelanggan. Aku memang nggak sendirian berjualan di pinggir jalan seperti ini, beberapa meter ke kanan ada tiga pedagang yang sama tentunya dengan resep mereka masing-masing, tapi aku yakin resep ibu yang juara apalagi ibu berinovasi dengan berbagai pilihan rasa.
Memang benar seperti kata ibu, pelanggannya banyak dari kalangan mahasiswa yang kos sekitar sini, karena porsi nasi jinggo ibu lebih banyak dari pedagang yang lainnya. Tentunya aku berharap semoga nggak ada mahasiswa dari kampusku yang berbelanja ke sini nantinya.
Setelah dua jam berjualan dan sudah habis sekitar 40 bungkus, untuk pertama kalinya ada mobil mewah berhenti di depan jualanku, “palingan orang mau nanya alamat” fikirku.
“Saya pesan yang rasa hati dua bungkus, rasa pindang dan ayam mercon masing-masing satu bungkus ya?”
“Mohon maaf Pak, yang rasa hati tinggal satu saja” sahutku sambil memperhatikan penampilan pria berkemeja putih bersih itu.
“Ya sudah rasa pindangnya kasih dua bungkus, sama tambahin krupuk aja lagi satu”
“Lho sebentar, ini benar kan nasi jinggonya Bu Ratna?”
“Iya benar Pak”
“Ibu Ratnanya nggak jualan?”
“Nggak, ibu lagi sakit saya yang gantiin ibu”
Pria itu mengambil kursi yang sengaja aku sediain untuk beberapa pelanggan yang mungkin mau makan di sini.
“Sakit apa ibumu?” pria itu melanjutkan pertanyaannya tentang ibu.
“Jantung koroner”
“Sudah ke dokter?”
“Sudah, kata dokter ibu harus banyak istirahat nggak boleh kecapekan”
“Iya jaga ibumu baik-baik ya, salam buat ibumu” sambil mengambil pesanannya dan membayar dengan uang pas, pria tampan berpenampilan rapi itu masuk ke sedan hitam miliknya.
Aku baru tahu kalau ibu ternyata punya pelanggan seperti itu, pria tampan dengan kumis tipis dan rambut klimis. Lengan kemeja yang dilipat sampai di bawah siku membuatnya terlihat lebih santai namun menarik. Nggak bisa dipungkiri sedan mewah berwarna hitam itupun jadi penunjang penampilan pria itu.
Walaupun hari ini aku pulang dengan 14 bungkus nasi yang masih tersisa, tentunya karena pria tadi aku jadi lebih semangat berjualan besok harinya. Namun sayang, sekilas aku lihat sudah ada cincin emas melingkar di jari manisnya saat dia membayar nasi yang ia beli tadi.
Diselimuti rasa malas aku menyiapkan 75 bungkus makanan yang telah dimasak oleh ibuku dari sore tadi. Kalau di Yogya punya yang namanya nasi kucing, kamipun di sini di Bali punya nasi jinggo. Nasi putih dengan beberapa jenis lauk seperti ayam, mie, dll yang dibungkus dengan daun pisang, tentunya tak lupa diisi sambal pedas khas buatan ibuku. Nasi jinggo ini akan kami jual malam ini di pinggir jalan depan gang rumah kami.
Ini hari pertama aku berjualan di pinggir jalan sendirian seperti ini, biasanya ibuku yang berjualan ditemani adikku. Berbekal smartphone sebagai hiburan lengkap dengan powerbank-nya aku menunggu pelanggan. Aku memang nggak sendirian berjualan di pinggir jalan seperti ini, beberapa meter ke kanan ada tiga pedagang yang sama tentunya dengan resep mereka masing-masing, tapi aku yakin resep ibu yang juara apalagi ibu berinovasi dengan berbagai pilihan rasa.
Memang benar seperti kata ibu, pelanggannya banyak dari kalangan mahasiswa yang kos sekitar sini, karena porsi nasi jinggo ibu lebih banyak dari pedagang yang lainnya. Tentunya aku berharap semoga nggak ada mahasiswa dari kampusku yang berbelanja ke sini nantinya.
Setelah dua jam berjualan dan sudah habis sekitar 40 bungkus, untuk pertama kalinya ada mobil mewah berhenti di depan jualanku, “palingan orang mau nanya alamat” fikirku.
“Saya pesan yang rasa hati dua bungkus, rasa pindang dan ayam mercon masing-masing satu bungkus ya?”
“Mohon maaf Pak, yang rasa hati tinggal satu saja” sahutku sambil memperhatikan penampilan pria berkemeja putih bersih itu.
“Ya sudah rasa pindangnya kasih dua bungkus, sama tambahin krupuk aja lagi satu”
“Lho sebentar, ini benar kan nasi jinggonya Bu Ratna?”
“Iya benar Pak”
“Ibu Ratnanya nggak jualan?”
“Nggak, ibu lagi sakit saya yang gantiin ibu”
Pria itu mengambil kursi yang sengaja aku sediain untuk beberapa pelanggan yang mungkin mau makan di sini.
“Sakit apa ibumu?” pria itu melanjutkan pertanyaannya tentang ibu.
“Jantung koroner”
“Sudah ke dokter?”
“Sudah, kata dokter ibu harus banyak istirahat nggak boleh kecapekan”
“Iya jaga ibumu baik-baik ya, salam buat ibumu” sambil mengambil pesanannya dan membayar dengan uang pas, pria tampan berpenampilan rapi itu masuk ke sedan hitam miliknya.
Aku baru tahu kalau ibu ternyata punya pelanggan seperti itu, pria tampan dengan kumis tipis dan rambut klimis. Lengan kemeja yang dilipat sampai di bawah siku membuatnya terlihat lebih santai namun menarik. Nggak bisa dipungkiri sedan mewah berwarna hitam itupun jadi penunjang penampilan pria itu.
Walaupun hari ini aku pulang dengan 14 bungkus nasi yang masih tersisa, tentunya karena pria tadi aku jadi lebih semangat berjualan besok harinya. Namun sayang, sekilas aku lihat sudah ada cincin emas melingkar di jari manisnya saat dia membayar nasi yang ia beli tadi.
***
Berbeda dengan sore kemarin, hari ini sepulang kuliah aku langsung menuju dapur dan membantu ibu menyiapkan jualan hari ini.
“Kamu kok antusias kelihatannya nak?” Tanya ibu keheranan.
“Nggak kenapa Bu, oya kemarin ada salam dari laki-laki tapi kelihatannya masih muda gitu bu, bawaannya mobil sedan hitam, dia sempat kaget karena yang jualan kemarin kok nggak Ibu Ratna, kok bisa dia tahu nama ibu? Tanyaku balik penuh penasaran.
“Kok bisa juga ibu punya pelanggan orang kaya gitu?” lanjutku.
“Iya adiknya itu kemarin-kemarin sepulang kerja sering makan di tempat kita jualan, katanya nasi jinggo kita itu beda, banyak pilihan rasanya, ada rasa hati ayamnya, ada pindangnya, ada juga daging sapi atau ayamnya.”
“Sempet juga dia makan di sana sambil cerita tentang perceraiannya dengan istrinya yang baru dia nikahin selama dua tahun ini”
“Jadi dia sudah bercerai, tapi kemarin kenapa dia masih memakai cincin kawinnya ya, apa pria itu masih mengharapkan mantan istrinya itu Bu?” tanyaku penasaran.
“Sudah jangan ngomongin orang lagi, kamu siap-siap gih sana dulu” ibu memintaku untuk jualan.
Dengan dandanan tipis aku menuju ke jalan depan gang untuk berjualan dibantu oleh adikku. “Siapa sih wanita yang dengan teganya meninggalkan pria tampan itu, nggak tahu bersyukur sekali” sambil berjalan aku menggumam sendiri.
Aku terus melirik jam di layar smartphone-ku, sudah jam delapan malam harusnya pria tampanku itu muncul dan membeli beberapa bungkus nasi jinggo, padahal sudah aku sisain empat bungkus rasa hati untukknya.
Setengah sepuluh malam, sedan hitam berplat nomor 747 A itu akhirnya datang , pria tampan yang mengemudikannya pun turun. Kali ini penampilannya berbeda, dia tampak mengenakan pakaian olahraga dan sepatu futsal, wajahnya berminyak akibat bekas keringat, maskulin sekali pria tampanku ini. Tapi yang paling penting dari itu semua, saat aku melirik ke jari manis tangan kanannya ketika dia mengambil nasi jinggo pesanannya, tak ada kulihat cincin emas lagi melingkar di sana.
“Makasih, jaga ibumu baik-baik ya” ucapnya sambil mengoyak rambutku dengan tangan kirinya.
“Iya sama-sama” balasku sambil menatapnya masuk ke sedan hitamnya dan berlalu.
“Kamu kok antusias kelihatannya nak?” Tanya ibu keheranan.
“Nggak kenapa Bu, oya kemarin ada salam dari laki-laki tapi kelihatannya masih muda gitu bu, bawaannya mobil sedan hitam, dia sempat kaget karena yang jualan kemarin kok nggak Ibu Ratna, kok bisa dia tahu nama ibu? Tanyaku balik penuh penasaran.
“Kok bisa juga ibu punya pelanggan orang kaya gitu?” lanjutku.
“Iya adiknya itu kemarin-kemarin sepulang kerja sering makan di tempat kita jualan, katanya nasi jinggo kita itu beda, banyak pilihan rasanya, ada rasa hati ayamnya, ada pindangnya, ada juga daging sapi atau ayamnya.”
“Sempet juga dia makan di sana sambil cerita tentang perceraiannya dengan istrinya yang baru dia nikahin selama dua tahun ini”
“Jadi dia sudah bercerai, tapi kemarin kenapa dia masih memakai cincin kawinnya ya, apa pria itu masih mengharapkan mantan istrinya itu Bu?” tanyaku penasaran.
“Sudah jangan ngomongin orang lagi, kamu siap-siap gih sana dulu” ibu memintaku untuk jualan.
Dengan dandanan tipis aku menuju ke jalan depan gang untuk berjualan dibantu oleh adikku. “Siapa sih wanita yang dengan teganya meninggalkan pria tampan itu, nggak tahu bersyukur sekali” sambil berjalan aku menggumam sendiri.
Aku terus melirik jam di layar smartphone-ku, sudah jam delapan malam harusnya pria tampanku itu muncul dan membeli beberapa bungkus nasi jinggo, padahal sudah aku sisain empat bungkus rasa hati untukknya.
Setengah sepuluh malam, sedan hitam berplat nomor 747 A itu akhirnya datang , pria tampan yang mengemudikannya pun turun. Kali ini penampilannya berbeda, dia tampak mengenakan pakaian olahraga dan sepatu futsal, wajahnya berminyak akibat bekas keringat, maskulin sekali pria tampanku ini. Tapi yang paling penting dari itu semua, saat aku melirik ke jari manis tangan kanannya ketika dia mengambil nasi jinggo pesanannya, tak ada kulihat cincin emas lagi melingkar di sana.
“Makasih, jaga ibumu baik-baik ya” ucapnya sambil mengoyak rambutku dengan tangan kirinya.
“Iya sama-sama” balasku sambil menatapnya masuk ke sedan hitamnya dan berlalu.
***
“Apa ini? Kenapa jantungku berdebar? Berdebar seperti salah minum obat batuk. Apa mungkin aku jatuh cinta dengan pria dewasa yang usianya jauh dari usiaku, duda pula. Tapi nggak ada yang salah ketika kita jatuh cinta dengan pria yang usianya jauh di atas kita dan berstatus duda.” Aku bingung sendiri dengan perasaanku, ketimbang aku sibuk memikirkan perasaan ini, lebih baik aku nikmati saja.
Aku pulang dengan suasana hati yang sudah lama nggak pernah aku rasakan lagi, selain karena pria tampan tadi, jualanku malam ini pun telah habis terjual. Ibu tentu senang mendengar kabar baik ini.
Aku pulang dengan suasana hati yang sudah lama nggak pernah aku rasakan lagi, selain karena pria tampan tadi, jualanku malam ini pun telah habis terjual. Ibu tentu senang mendengar kabar baik ini.
***
Ketiga kalinya aku jualan, masih sama seperti hari-hari kemarin, sampai jam delapan pria tampanku nggak ada datang. Sudah jam sepuluh malam dan sebentar lagi aku harus tutup, karena jualanku sudah habis dan yang tersisa cuma empat bungkus, dua rasa hati, satu rasa pindang dan satunya lagi rasa ayam mercon, yang sengaja aku sisain untuk pria tampan yang tak kunjung datang itu.
Hari ini berbeda dengan hari kemarin, aku pulang dengan wajah layu. “Percuma aku sisain kalau kamu ternyata nggak datang.” aku menggerutu sendiri di gang menuju rumahku.
Hari ini berbeda dengan hari kemarin, aku pulang dengan wajah layu. “Percuma aku sisain kalau kamu ternyata nggak datang.” aku menggerutu sendiri di gang menuju rumahku.
***
Setelah beberapa hari aku jualan, tak pernah lagi pria tampan itu ke sini untuk membeli nasi jinggo rasa hati, pindang atau yang lainnya. Aku sendiri sudah nggak mengharapkan kehadirannya lagi setelah beberapa kali menunggu.
Saat aku sedang asyiknya membuka instagram di smartphone-ku, aku di kejutkan dengan suara klakson yang begitu keras. Sedan hitam itu tampak sudah di depan mataku, namun sang pengemudi tak kunjung turun, hanya kaca pintu depan sebelah kiri yang mulai terbuka, pria tampan itu melambaikan tangannya dan melempar senyum padaku. “Siapa ini? Siapa wanita cantik di sampingnya ini? Sial… kenapa dia memanggil pria tampanku itu dengan panggilan ‘sayang’?
“Saya pesan rasa hatinya empat, rasa pindang satu dan rasa ayam mercon satu, sama krupuknya tiga ya dik” ucap wanita itu.
“Ini mbak, semuanya jadi 39 ribu” ucapku sambil menyodorkan pesanannya.
“Kembaliannya ambil saja dik” dia memberiku lembaran 50 ribuan.
“Nggak mbak, ini ada kembalian kok” sambil aku mengambil kembaliannya menyerahkannya ke wanita cantik di samping pria tampanku itu.
“Terima kasih” sahutnya dan mereka pun berlalu.
“Enyahlah kalian dari sini dan jangan kembali lagi” gerutuku.
Saat aku sedang asyiknya membuka instagram di smartphone-ku, aku di kejutkan dengan suara klakson yang begitu keras. Sedan hitam itu tampak sudah di depan mataku, namun sang pengemudi tak kunjung turun, hanya kaca pintu depan sebelah kiri yang mulai terbuka, pria tampan itu melambaikan tangannya dan melempar senyum padaku. “Siapa ini? Siapa wanita cantik di sampingnya ini? Sial… kenapa dia memanggil pria tampanku itu dengan panggilan ‘sayang’?
“Saya pesan rasa hatinya empat, rasa pindang satu dan rasa ayam mercon satu, sama krupuknya tiga ya dik” ucap wanita itu.
“Ini mbak, semuanya jadi 39 ribu” ucapku sambil menyodorkan pesanannya.
“Kembaliannya ambil saja dik” dia memberiku lembaran 50 ribuan.
“Nggak mbak, ini ada kembalian kok” sambil aku mengambil kembaliannya menyerahkannya ke wanita cantik di samping pria tampanku itu.
“Terima kasih” sahutnya dan mereka pun berlalu.
“Enyahlah kalian dari sini dan jangan kembali lagi” gerutuku.
0 komentar