Nggak jarang suatu kenangan yang sudah sangat lama, yang mungkin sudah mengendap di memori paling bawah otak kita, tiba-tiba muncul kembali ke permukaan hanya karena hujan. Mungkin karena itu juga banyak penyair yang menyambut hujan lewat puisi, seperti;
Tak hanya kenangannya saja yang dibuat muncul ke permukaan, seringkali oleh hujan juga kita dibuat rindu akan hal-hal yang berkaitan dengan hujan itu sendiri. Termasuk aku sendiri punya beberapa kisah manis antara aku, hujan dan rindu diantaranya.
Kala itu di tanah yang saking lamanya diperkosa oleh kemarau hingga membuatnya retak di mana-mana dan rumput pun enggan tumbuh di sana, entah sudah berapa kali 45 menit kami bermain bola, entah berapa goal yang sudah tercipta, memang tak ada waktu batasan untuk kami berhenti bermain. Permainan kami memang minim fasilitas, jangankan gawang berjaring, tiang pun tak ada, hanya dua batu atau bahkan sandal jepit sebagai pengganti tiang yang kami letakkan berjarak 2-3 langkah kaki kami. Minim fasilitas bukan berarti kami tak menikmati permainan, justru sebaliknya. Mungkin kami nggak akan pulang jika nggak ada orang tua salah satu dari kami datang dengan membawa sebilah bambu, tentu saja bambu untuk mengancam kami agar mau pulang. Nggak jarang juga permainan kami akan berhenti jika ada teman-teman yang mulai emosi dan adu jotos satu sama lain. Hanya dua hal itu yang bisa membuat kami berhenti bermain bola, bahkan hujan pun tak bisa menghentikan kami.
Aku ingat betul sore itu, di atas tanah yang tandus ada langit yang bergemuruh, kami sudah tahu akan turun hujan. Memang sudah lama nggak turun hujan karena memang masih musim kemarau. Tampak tetes demi tetes air mulai berjatuhan, besar-besar pula. Tanah retak yang kami pijak seakan menyambut dengan mengeluarkan aroma khasnya. Aroma itulah yang kadang membuat kita rindu akan hujan di setiap penghujung kemarau. Ingatlah aroma itu setiap kita ingin marah-marah karena hujan. Marah karena hujan turun pas kita sudah siap mau berangkat kerja atau kuliah dan malas untuk menggunakan mantel hujan. Marah karena kita baru habis mencuci motor dan tiba-tiba hujan turun tanpa permisi. Di balik rasa kesal kita akan hujan, ada rindu dari petani yang terobati. Ingatlah, aroma karena air hujan itulah yang ditunggu-tunggu para petani. Aroma yang belakangan aku tahu disebut Petrikor.
Hujan semakin deras, tanah yang tadinya tandus seketika jadi becek di mana-mana, dan kami masih berlari kesana kemari mengejar kemudian menendang bola. Sampai kami tersadar kami sudah kelamaan main karena sudah dicari oleh orang tua salah satu dari teman kami, kali ini beliau nggak bawa bambu, kami pun berhenti bermain. Kami pulang? Belum, kami memutuskan untuk mandi air hujan di jalanan, jalanan sudah beraspal tentu saja kalau kami mandi di sana kaki kami takkan kotor. Salah seorang teman kami mengambil sabun dan beberapa sachet sampo ke warung neneknya yang kebetulan letaknya tepat di pinggir jalan tempat kami mandi. Kami pun menggosok rambut dan badan kami dengan binal, sedikit memalukan kalau diingat-ingat. Segerombolan anak kecil bugil loncat-loncat di jalanan, di bawah derasnya hujan, lebih terlihat seperti tuyul yang lagi menarikan tarian penyambut hujan.
Aroma hujan juga mengingatkanku akan saat-saat aku dan ibuku dibonceng oleh bapak dengan RX King-nya. Saat itu, kami seringkali mengantar ibu berobat ke beberapa tempat pengobatan alternative. Berangkat dari rumah sore hari dan pulangnya selalu menjelang tengah malam. Saat aku dan ibuku dibonceng yang tentu saja aku berada di tengah-tengah mereka dengan kondisi terjepit, tak jarang aku mencium dan menikmati aroma basahnya tanaman oleh air hujan setiap malam, saat kami di tengah perjalanan pulang. Aroma itulah yang masih terekam sampai sekarang. Dan kini setiap aku bermotor sendirian dan mencium aroma itu, aku kembali mengingat salah satu momen paling romantis dalam hidupku itu.
Semua orang pasti tahu hubungan antara hujan, mantel hujan, sepeda motor, seorang bapak dan anak berseragam Sekolah Dasar. Iya, pagi itu hujan deras, aku diantar bapak ke sekolah, bukan diantar sih tepatnya, kami berangkat ke sekolah bareng . Bedanya bapakku ke sekolah untuk mengajar dan aku sendiri untuk dihajar. Sekolahku lumayan jauh, sekitar tiga puluh menit ditempuh dengan sepeda motor. Seperti kataku tadi, pagi itu hujan deras, tentu saja bapak menggunakan mantel hujan yang mirip jubahnya Batman, aku dibonceng di belakang. Dari kepalaku sampai kaki tertutup mantel, orang-orang takkan bisa melihat kalau bapakku sedang ngebonceng tuyul saat itu. Aku sendiri juga nggak bisa melihat keluar, hanya bisa menatap aspal di bawahku yang seolah-olah berjalan dan akulah yang diam. Di perjalanan yang pastinya membosankan itu, hampir tiap lima menit aku bertanya “Sudah sampai mana Pak?”. Dari sekian kali aku bertanya, nggak sekalipun bapak menjawab, entah karena memang nggak dengar atau malas menjawab. Sampai sekarang itu masih menjadi misteri.
“November, di kotamu yang berkeringat,
masih adakah sebuah ruang
bagi kenangan manis, kangen yang terlipat
serta cinta yang terlambat?”
Penggalan puisi dari Beno Siang Pamungkas dengan judul ‘Rambut Hujan’.
masih adakah sebuah ruang
bagi kenangan manis, kangen yang terlipat
serta cinta yang terlambat?”
Penggalan puisi dari Beno Siang Pamungkas dengan judul ‘Rambut Hujan’.
“Sebab hujan adalah kau, kubiarkan tubuhku kuyup,
dan gigil menjadi pertanda rindu telah sampai pada ujungnya.
runcing, dan mengkerutkan kulit sepi.”
dan gigil menjadi pertanda rindu telah sampai pada ujungnya.
runcing, dan mengkerutkan kulit sepi.”
Penggalan puisi dari Dimas Indiana Senja dengan judul ‘Sebab Hujan Adalah Kau’.
Tak sedikit juga musisi menjadikan hujan sebagai teman sepi yang
mengendap kala mengingat kenangan manisnya, seperti salah satu band favoritku
dulu, Utopia dengan lagunya ‘Hujan’. Ada juga ‘Setia’-nya
Jikustik, ‘Desember’-nya Efek Rumah Kaca, ‘Firasat’-nya Marcel, ‘I Remember’-nya Mocca,
dan tentu saja band legendaris Sheila on 7 dengan ‘Hujan Turun’-nya dan ‘November
Rain’-nya Guns N Roses, semua lagu itu tentang hujan dengan kenangan yang
dibawanya serta rindu yang mengikuti.
***
Kala itu di tanah yang saking lamanya diperkosa oleh kemarau hingga membuatnya retak di mana-mana dan rumput pun enggan tumbuh di sana, entah sudah berapa kali 45 menit kami bermain bola, entah berapa goal yang sudah tercipta, memang tak ada waktu batasan untuk kami berhenti bermain. Permainan kami memang minim fasilitas, jangankan gawang berjaring, tiang pun tak ada, hanya dua batu atau bahkan sandal jepit sebagai pengganti tiang yang kami letakkan berjarak 2-3 langkah kaki kami. Minim fasilitas bukan berarti kami tak menikmati permainan, justru sebaliknya. Mungkin kami nggak akan pulang jika nggak ada orang tua salah satu dari kami datang dengan membawa sebilah bambu, tentu saja bambu untuk mengancam kami agar mau pulang. Nggak jarang juga permainan kami akan berhenti jika ada teman-teman yang mulai emosi dan adu jotos satu sama lain. Hanya dua hal itu yang bisa membuat kami berhenti bermain bola, bahkan hujan pun tak bisa menghentikan kami.
Aku ingat betul sore itu, di atas tanah yang tandus ada langit yang bergemuruh, kami sudah tahu akan turun hujan. Memang sudah lama nggak turun hujan karena memang masih musim kemarau. Tampak tetes demi tetes air mulai berjatuhan, besar-besar pula. Tanah retak yang kami pijak seakan menyambut dengan mengeluarkan aroma khasnya. Aroma itulah yang kadang membuat kita rindu akan hujan di setiap penghujung kemarau. Ingatlah aroma itu setiap kita ingin marah-marah karena hujan. Marah karena hujan turun pas kita sudah siap mau berangkat kerja atau kuliah dan malas untuk menggunakan mantel hujan. Marah karena kita baru habis mencuci motor dan tiba-tiba hujan turun tanpa permisi. Di balik rasa kesal kita akan hujan, ada rindu dari petani yang terobati. Ingatlah, aroma karena air hujan itulah yang ditunggu-tunggu para petani. Aroma yang belakangan aku tahu disebut Petrikor.
Hujan semakin deras, tanah yang tadinya tandus seketika jadi becek di mana-mana, dan kami masih berlari kesana kemari mengejar kemudian menendang bola. Sampai kami tersadar kami sudah kelamaan main karena sudah dicari oleh orang tua salah satu dari teman kami, kali ini beliau nggak bawa bambu, kami pun berhenti bermain. Kami pulang? Belum, kami memutuskan untuk mandi air hujan di jalanan, jalanan sudah beraspal tentu saja kalau kami mandi di sana kaki kami takkan kotor. Salah seorang teman kami mengambil sabun dan beberapa sachet sampo ke warung neneknya yang kebetulan letaknya tepat di pinggir jalan tempat kami mandi. Kami pun menggosok rambut dan badan kami dengan binal, sedikit memalukan kalau diingat-ingat. Segerombolan anak kecil bugil loncat-loncat di jalanan, di bawah derasnya hujan, lebih terlihat seperti tuyul yang lagi menarikan tarian penyambut hujan.
***
Aroma hujan juga mengingatkanku akan saat-saat aku dan ibuku dibonceng oleh bapak dengan RX King-nya. Saat itu, kami seringkali mengantar ibu berobat ke beberapa tempat pengobatan alternative. Berangkat dari rumah sore hari dan pulangnya selalu menjelang tengah malam. Saat aku dan ibuku dibonceng yang tentu saja aku berada di tengah-tengah mereka dengan kondisi terjepit, tak jarang aku mencium dan menikmati aroma basahnya tanaman oleh air hujan setiap malam, saat kami di tengah perjalanan pulang. Aroma itulah yang masih terekam sampai sekarang. Dan kini setiap aku bermotor sendirian dan mencium aroma itu, aku kembali mengingat salah satu momen paling romantis dalam hidupku itu.
***
Semua orang pasti tahu hubungan antara hujan, mantel hujan, sepeda motor, seorang bapak dan anak berseragam Sekolah Dasar. Iya, pagi itu hujan deras, aku diantar bapak ke sekolah, bukan diantar sih tepatnya, kami berangkat ke sekolah bareng . Bedanya bapakku ke sekolah untuk mengajar dan aku sendiri untuk dihajar. Sekolahku lumayan jauh, sekitar tiga puluh menit ditempuh dengan sepeda motor. Seperti kataku tadi, pagi itu hujan deras, tentu saja bapak menggunakan mantel hujan yang mirip jubahnya Batman, aku dibonceng di belakang. Dari kepalaku sampai kaki tertutup mantel, orang-orang takkan bisa melihat kalau bapakku sedang ngebonceng tuyul saat itu. Aku sendiri juga nggak bisa melihat keluar, hanya bisa menatap aspal di bawahku yang seolah-olah berjalan dan akulah yang diam. Di perjalanan yang pastinya membosankan itu, hampir tiap lima menit aku bertanya “Sudah sampai mana Pak?”. Dari sekian kali aku bertanya, nggak sekalipun bapak menjawab, entah karena memang nggak dengar atau malas menjawab. Sampai sekarang itu masih menjadi misteri.