Minggu malam,
setelah film superhero kesukaanku berakhir, aku memutuskan tak langsung pulang.
Aku menuju sebuah kedai kopi. Memesan minuman dengan cup ukuran sedang namun isinya bukan kopi, aku ingin mengurangi
caffeine. Sudah sebulan kira-kira kujauhi minuman hitam pekat nan pahit itu.
Setelah minuman
kupegang, tak kulihat kursi kosong di sekitar, selain kursi di depanmu. Dengan
sedikit ragu aku mendekatimu. Dengan nada tak yakin aku bertanya. Kursi kosong
di depanmu tak adakah yang punya.
Sesuai harapan,
kau menjawab dengan anggukan menandakan iya. Melebihi ekspektasi, kau tawarkan
aku mengisi kursi itu karena kau juga tahu tak ada lagi kursi yang bisa
kududuki selain yang di depanmu.
Sedikit canggung,
aku duduk sembari mengucap terima kasih. Lagi-lagi kau hanya mengangguk.
Kuterjemahkan itu sebagai “Tak masalah, santai saja.”
Aku menyibukkan
diri dengan melihat di sekitar, seolah ingin mencari kursi kosong lainnya.
Padahal aku tak benar-benar ingin pindah dari sini.
Tak kusangka,
kau menjulurkan tanganmu dan berkata “Susu Cokelat.” Aku kaget dan mematung
beberapa detik, lalu tatapanmu mengarah ke minuman di depanmu. Aku mengerti dan
kubalas “Green Tea,” sambil
kutunjukkan minuman yang kubawa. Jabatan tangan kita terlepas. “Green tea dengan topping vanilla, saran
dari masnya,” lanjutku sambil menunjuk
ke barista kedai kopi yang melayaniku tadi. Mendengarnya kau hanya tersenyum.
Lalu kau kembali
sibuk dengan ponsel di tanganmu. Sedangkan aku kembali sibuk mencari bahan
obrolan karena sungguh aku ingin bisa bicara lebih banyak dengan Susu Cokelat
di depanku. Namun aku bukanlah orang yang bisa dengan mudah menemukan bahan
obrolan, kau pun tampaknya demikian.
Hingga tak
kurang dari setengah jam kita duduk berhadapan, tanpa percakapan. Hanya sesekali
kau tampak melihat ke arahku, dan aku berkali-kali menatap wajah seriusmu.
Dalam hati aku memuji betapa manis Susu Cokelat di depanku.
Sampai akhirnya
kau mengambil tasmu bersiap untuk pergi. Kau mengatakan bahwa kau harus pergi.
“Green tea bagus untuk kesehatan,”
katamu sebelum pergi. “Susu cokelatmu tampak manis, sebaiknya jangan
sering-sering minum itu,” balasku. Kau tersenyum kemudian berlalu.